Artikel ini terdiri dari empat bagian. Bagian pertama membahas
teori-teori kewirausahaan dan intensi
kewirausahaan
beserta
temuan-temuan empirisnya dan formulasi hipotesis. Uraian data dan metodologi penelitian akan dijabarkan pada
bagian
kedua,
dilanjutkan dengan pengujian
hipotesis ketiga. Bagian akhir memuat
diskusi, kesimpulan, keterbatasan dan implikasi bagi penelitian selanjutnya.
Landasan Teori
Penelitian
untuk melihat aspek
intensi kewirausahaan seseorang telah mendapat perhatian cukup besar dari para
peneliti. Intensi kewirausahaan dapat diartikan sebagai proses pencarian informasi
yang
dapat digunakan untuk mencapai
tujuan pembentukan suatu usaha (Katz dan Gartner,
1988). Seseorang dengan intensi
untuk memulai
usaha akan memiliki kesiapan dan
kemajuan yang lebih baik
dalam usaha yang dijalankan
dibandingkan seseorang tanpa intensi untuk memulai
usaha. Seperti
yang
dinyatakan oleh Krueger dan Carsrud
(1993), intensi telah terbukti menjadi prediktor
yang
terbaik bagi perilaku kewirausahaan. Oleh karena
itu, intensi dapat dijadikan
sebagai pendekatan
dasar
yang
masuk akal untuk memahami siapa-siapa
yang
akan menjadi wirausaha
(Choo dan Wong, 2006).
Secara garis besar penelitian
seputar
intensi kewirausahaan dilakukan
dengan melihat tiga hal secara
berbeda-beda:
karakteristik
kepribadian; karakteristik
demografis;
dan karakteristik lingkungan. Beberapa peneliti terdahulu membuktikan bahwa faktor kepribadian seperti
kebutuhan akan prestasi (McClelland,
1961; Sengupta dan Debnath,
1994)
dan efikasi diri (Gilles dan Rea, 1999; Indarti, 2004) merupakan prediktor signifikan intensi kewirausahaan.
Faktor demografi seperti umur, jenis kelamin, latar
belakang pendidikan dan pengalaman bekerja seseorang
diperhitungkan sebagai
penentu bagi intensi kewirausahaan. Sebagai contoh,
penelitian dari India (Sinha, 1996) menemukan bahwa latar belakang pendidikan
seseorang menentukan tingkat intensi
seseorang dan kesuksesan suatu bisnis yang
dijalankan. Kristiansen (2001;2002a) menyebut
bahwa faktor lingkungan seperti
hubungan sosial, infrastruktur fisik dan institusional serta faktor budaya dapat mempengaruhi intensi kewirausahaan.
Penelitian
ini bertujuan untuk melihat
faktor-faktor penentu intensi
kewirausahaan dengan
menggabungkan tiga pendekatan
(Indarti, 2004) yaitu :
1) faktor kepribadian: kebutuhan akan prestasi dan efikasi diri
2) faktor lingkungan, yang
dilihat pada tiga elemen
kontekstual: akses
kepada modal, informasi dan
jaringan sosial
3) faktor demografis: jender, umur, latar belakang pendidikan dan pengalaman bekerja.
Karakteristik kepribadian
Kebutuhan akan prestasi
McClelland (1961, 1971)
telah memperkenalkan konsep kebutuhan akan prestasi sebagai
salah satu motif psikologis.
Kebutuhan akan prestasi dapat diartikan sebagai suatu kesatuan watak yang memotivasi seseorang
untuk menghadapi tantangan
untuk mencapai kesuksesan dan
keunggulan (Lee, 1997: 103). Lebih lanjut, McClelland
(1976) menegaskan bahwa kebutuhan
akan prestasi sebagai salah satu karakteristik kepribadian seseorang yang akan mendorong
seseorang untuk memiliki intensi kewirausahaan. Menurutnya, ada tiga atribut yang melekat pada
seseorang
yang mempunyai
kebutuhan akan prestasi yang tinggi, yaitu (a) menyukai
tanggung jawab pribadi dalam mengambil
keputusan, (b) mau mengambil resiko sesuai dengan
kemampuannya,
dan (c) memiliki
minat
untuk selalu belajar dari keputusan yang
telah diambil.
Hasil penelitian dari
Scapinello (1989) menunjukkan
bahwa seseorang dengan tingkat kebutuhan akan prestasi yang
tinggi kurang dapat menerima
kegagalan daripada
mereka dengan kebutuhan
akan prestasi rendah. Dengan kata lain, kebutuhan akan prestasi
berpengaruh pada atribut
kesuksesan dan kegagalan. Sejalan
dengan hal tersebut, Sengupta dan
Debnath (1994) dalam penelitiannya di India menemukan
bahwa
kebutuhan akan prestasi
berpengaruh besar dalam tingkat
kesuksesan seorang wirausaha. Lebih spesifik,
kebutuhan akan prestasi juga dapat mendorong kemampuan
pengambilan keputusan dan kecenderungan untuk mengambil resiko
seorang wirausaha. Semakin
tinggi kebutuhan akan prestasi seorang wirausaha, semakin banyak keputusan tepat yang akan diambil.
Wirausaha dengan kebutuhan
akan prestasi tinggi adalah pengambil resiko yang moderat dan menyukai hal-hal
yang menyediakan balikan yang tepat
dan cepat.
Berdasarkan uraian
tersebut, maka hipotesis pertama
dirumuskan sebagai berikut:
Hipotesis 1: Kebutuhan akan prestasi
mempengaruhi intensi kewirausahaan
Efikasi diri
Bandura (1977: 2) mendefinisikan efikasi diri sebagai kepercayaan seseorang atas kemampuan dirinya
untuk menyelesaikan
suatu pekerjaan. Atau dengan kata lain, kondisi motivasi seseorang
yang
lebih didasarkan
pada
apa
yang
mereka
percaya
daripada apa yang secara
objektif benar.
Persepsi
pribadi seperti ini memegang peranan penting
dalam
pengembangan
intensi seseorang. Senada dengan hal tersebut, Cromie (2000)
menjelaskan bahwa
efikasi
diri
mempengaruhi kepercayaan seseorang pada tercapai atau tidaknya tujuan yang sudah
ditetapkan.
Lebih rinci, Bandura (1986) menjelaskan empat cara untuk mencapai efikasi diri. Pertama, pengalaman
sukses yang terjadi berulang-ulang.
Cara
ini dipandang sebagai cara yang
sangat efektif untuk mengembangkan
rasa yang kuat pada efikasi
diri. Kedua,
pembelajaran melalui
pengamatan secara langsung. Dengan cara ini, seseorang
akan memperkirakan keahlian dan perilaku yang relevan untuk
dijadikan contoh dalam mengerjakan sebuah tugas. Penilaian atas keahlian yang
dimilikinya juga dilakukan,
untuk mengetahui besar usaha yang harus dikeluarkan dalam rangka mencapai
keahlian yang dibutuhkan. Ketiga, persuasi sosial seperti diskusi yang
persuasif dan balikan kinerja yang
spesifik. Dengan metode ini, memungkinkan untuk menyajikan informasi terkait dengan kemampuan seseorang dalam menyelesaikan
suatu pekerjaan. Keempat,
penilaian terhadap
status psikologis yang dimiliki. Hal
ini berarti bahwa seseorang sudah
seharusnya meningkatkan kemampuan
emosional
dan fisik serta mengurangi
tingkat stress.
Disisi lain, banyak
peneliti percaya bahwa efikasi diri
terkait erat dengan pengembangan karir. Merujuk Betz dan Hacket
(1986), efikasi diri akan karir
seseorang adalah domain
yang
menggambarkan pendapat
pribadi seseorang dalam hubungannya dengan proses
pemilihan dan penyesuaian
karir. Dengan demikian, efikasi diri
akan karir seseorang dapat menjadi faktor penting dalam penentuan apakah
intensi kewirausahaan seseorang sudah terbentuk
pada tahapan awal seseorang memulai karirnya. Lebih lanjut, Betz dan Hacket menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat
efikasi diri seseorang pada kewirausahaan di
masa-masa
awal seseorang dalam berkarir,
semakin
kuat intensi kewirausahaan yang dimilikinya.
Selain itu, Gilles dan Rea (1999) membuktikan pentingnya efikasi diri dalam proses pengambilan keputusan terkait dengan karir seseorang. Efikasi diri terbukti signifikan menjadi penentu
intensi seseorang.
Berdasarkan uraian
tersebut, hipotesis
yang
akan dijawab dalam penelitian ini:
Hipotesis 2: Efikasi
diri berpengaruh terhadap intensi kewirausahaan
Elemen kontekstual
Tiga faktor
lingkungan yang dipercaya mempengaruhi wirausaha yaitu akses mereka kepada modal, informasi dan kualitas jaringan sosial yang
dimiliki, yang kemudian disebut kesiapan instrumen .
Akses
kepada modal
Jelas, akses kepada modal merupakan hambatan
klasik terutama dalam
memulai usaha-usaha baru, setidaknya
terjadi di negara-negara berkembang dengan dukungan lembaga-lembaga
penyedia keuangan
yang
tidak begitu kuat. Studi
empiris terdahulu menyebutkan bahwa kesulitan dalam
mendapatkan akses modal, skema kredit dan kendala sistem keuangan
dipandang sebagai
hambatan
utama dalam
kesuksesan usaha
menurut calon-calon wirausaha di
negara-negara
berkembang (Marsden,
1992; Meier dan Pilgrim, 1994;
Steel, 1994). Di negara-negara maju di mana
infrastruktur keuangan sangat efisien, akses kepada modal
juga dipersepsikan sebagai hambatan
untuk menjadi pilihan wirausaha
karena tingginya hambatan masuk
untuk mendapatkan modal
yang
besar terhadap rasio tenaga
kerja di banyak industri yang
ada. Penelitian relatif baru menyebutkan
bahwa akses kepada modal menjadi salah satu penentu kesuksesan suatu usaha
Ketersediaan informasi
Ketersediaan informasi
usaha merupakan faktor penting yang mendorong keinginan
seseorang untuk membuka
usaha baru (Indarti, 2004) dan faktor kritikal bagi pertumbuhan dan keberlangsungan usaha (Duh,
2003; Kristiansen, 2002b; Mead & Liedholm, 1998; Swierczek dan Ha, 2003). Penelitian
yang
dilakukan oleh Singh dan Krishna (1994) di India membuktikan
bahwa keinginan yang kuat untuk memperoleh
informasi adalah salah satu
karakter
utama
seorang wirausaha. Pencarian informasi
mengacu pada frekuensi kontak yang dibuat oleh seseorang dengan berbagai sumber informasi. Hasil dari aktivitas tersebut sering tergantung pada ketersediaan informasi, baik melalui usaha sendiri
atau sebagai
bagian
dari
sumber daya sosial
dan jaringan. Ketersediaan informasi baru akan tergantung pada
karakteristik seseorang,
seperti tingkat pendidikan dan kualitas infrastruktur, meliputi
cakupan media dan sistem telekomunikasi
(Kristiansen, 2002b).
Jaringan
sosial
Mazzarol et al. (1999) menyebutkan bahwa jaringan sosial mempengaruhi
intensi kewirausahaan. Jaringan
sosial didefinisikan sebagai hubungan antara dua orang yang mencakup a) komunikasi atau penyampaian
informasi
dari satu pihak ke pihak lain;
b) pertukaran barang dan jasa
dari
dua belah pihak; dan c) muatan normatif atau ekspektasi yang dimiliki
oleh seseorang terhadap orang lain karena karakter-karakter
atau atribut khusus yang ada. Bagi wirausaha, jaringan merupakan
alat mengurangi resiko dan biaya transaksi serta memperbaiki
akses
terhadap ide-ide bisnis, informasi
dan
modal (Aldrich dan Zimmer,
1986). Hal senada diungkap oleh Kristiansen
(2003) yang menjelaskan bahwa jaringan sosial terdiri dari hubungan formal dan informal antara pelaku
utama
dan pendukung dalam satu
lingkaran terkait dan menggambarkan
jalur bagi wirausaha untuk mendapatkan akses kepada sumber daya yang diperlukan dalam pendirian, perkembangan dan kesuksesan usaha. Dari penjelasan tersebut, maka
hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini
adalah:
Hipotesis 3: Kesiapan instrumen berpengaruh terhadap
intensi kewirausahaan
Faktor demografis: jender, umur, pendidikan dan pengalaman
bekerja
Penelitian-penelitian
terdahulu menunjukkan bahwa faktor-faktor demografis seperti jender, umur, pendidikan dan pengalaman bekerja seseorang
berpengaruh
terhadap
keinginannya untuk menjadi seorang
wirausaha (Mazzarol et al., 1999; Tkachev dan Kolvereid,
1999).
Jender
Pengaruh jender atau jenis kelamin terhadap
intensi seseorang menjadi
wirausaha telah banyak diteliti
(Mazzarol et al., 1999;
Kolvereid, 1996; Matthews dan Moser,
1996; Schiller dan Crewson, 1997). Seperti yang sudah
diduga, bahwa mahasiswa
laki-laki memiliki intensi yang lebih kuat dibandingkan mahasiswa
perempuan. Secara
umum,
sektor wiraswasta adalah sektor
yang
didominasi oleh kaum laki-laki. Mazzarol et al., (1999) membuktikan
bahwa perempuan cenderung kurang menyukai
untuk membuka
usaha baru dibandingkan kaum laki-laki. Temuan
serupa juga disampaikan oleh
Kolvereid
(1996), laki-laki terbukti mempunyai
intensi kewirausahaan yang lebih
tinggi dibandingkan perempuan.
Penelitian yang dilakukan oleh Matthews dan Moser (1996) pada lulusan master di Amerika
dengan menggunakan studi longitudinal menemukan bahwa minat laki-laki untuk berwirausaha konsisten
dibandingkan minat perempuan yang berubah menurut waktu. Schiller dan Crawson (1997) menemukan adanya
perbedaan
yang signifikan dalam hal
kesuksesan usaha dan kesuksesan dalam berwirausaha
antara perempuan dan laki-laki.
Berdasarkan uraian tersebut, hipotesis yang akan dijawab dalam penelitian ini dirumuskan:
Hipotesis 4: Intensi kewirausahaan berhubungan dengan jender; laki-laki mempunyai intensi kewirausahaan lebih tinggi.
Umur
Hasil penelitian yang dilakukan
oleh Sinha (1996) di India, menunjukkan bahwa hampir sebagian besar wirausaha yang sukses adalah mereka yang berusia
relatif muda. Hal ini senada dengan
Reynolds et al., (2000)
yang menyatakan bahwa seseorang berusia
25-44 tahun adalah usia-usia paling
aktif untuk berwirausaha di negara-negara barat.
Hasil
penelitian terbaru terhadap wirausaha
warnet di Indonesia membuktikan bahwa usia wirausaha berkorelasi signifikan terhadap kesuksesan
usaha
yang
dijalankan (Kristiansen et
al.,
2003). Senada dengan hal itu, Dalton dan Holloway (1989) membuktikan
bahwa banyak calon wirausaha yang
telah mendapat tanggung jawab besar
pada saat berusia muda, bahkan layaknya seperti menjalankan usaha baru. Oleh karena itu, rumusan hipotesis yang akan diteliti adalah:
Hipotesis 5: Mahasiswa yang berusia muda memiliki
intensi kewirausahaan yang lebih tinggi
dibandingkan mereka yang berusia tua.
Latar
belakang pendidikan
Latar belakang pendidikan
seseorang
terutama yang terkait dengan
bidang usaha, seperti bisnis dan manajemen
atau ekonomi dipercaya akan mempengaruhi
keinginan dan minatnya
untuk memulai
usaha baru di masa mendatang.
Sebuah studi dari India membuktikan bahwa latar belakang pendidikan menjadi salah satu penentu penting
intensi
kewirausahaan dan kesuksesan usaha yang
dijalankan (Sinha, 1996). Penelitian
lain, Lee (1997) yang mengkaji perempuan wirausaha menemukan bahwa perempuan berpendidikan
universitas mempunyai kebutuhan akan prestasi yang
tinggi untuk menjadi wirausaha.
Hipotesis 6: Mahasiswa yang berlatar belakang pendidikan ekonomi dan bisnis memiliki
intensi kewirausahaan yang lebih
tinggi dibandingkan mereka yang berlatar belakang pendidikan
non-ekonomi dan bisnis..
Pengalaman
kerja
Kolvereid (1996) menemukan bahwa seseorang
yang memiliki pengalaman
bekerja mempunyai intensi kewirausahaan yang lebih tinggi dibandingkan mereka
yang
tidak pernah bekerja sebelumnya.
Sebaliknya, secara lebih spesifik, penelitian yang
dilakukan oleh Mazzarol et
al.,
(1999) membuktikan bahwa seseorang yang pernah bekerja di sektor pemerintahan cenderung
kurang sukses untuk memulai
usaha. Namun, Mazzarol et al.,
(1999) tidak menganalisis hubungan
antara pengalaman kerja di sektor
swasta terhadap intensi kewirausahaan. Scott dan Twomey (1988) meneliti beberapa faktor seperti pengaruh orang
tua dan pengalaman kerja yang akan mempengaruhi persepsi seseorang
terhadap suatu usaha dan sikap orang tersebut terhadap keinginannya untuk menjadi
karyawan atau wirausaha. Lebih lanjut, mereka menyebutkan
bahwa jika kondisi lingkungan sosial seseorang pada saat dia berusia muda kondusif untuk kewirausahaan dan seseorang tersebut memiliki pengalaman yang positif terhadap sebuah usaha, maka
dapat dipastikan orang tersebut mempunyai
gambaran yang baik tentang kewirausahaan.
Dengan demikian, maka dapat dikemukakan
hipotesis sebagai berikut: Hipotesis 7: Mahasiswa yang memiliki pengalaman
kerja memiliki intensi kewirausahaan yang lebih tinggi
dibandingkan dengan mereka yang belum pernah bekerja sebelumnya.
Data dan Metodologi
Sampel penelitian
ini adalah mahasiswa
sarjana (S1) dari Universitas Gadjah
Mada, Indonesia, Agder University College,
Norwegia dan Hiroshima University of Economics
(HUE), Jepang. Pengambilan
sampel didasarkan pada judgement atau purposive sampling, sampel
dipilih dengan adanya beberapa
kriteria tertentu yang digunakan oleh peneliti (Remenyi, 2000).
Instrumen penelitian terdiri
dari tiga variabel penelitian
yang
dioperasionalisasikan menjadi
beberapa butir pertanyaan.
Satu variabel dependen digunakan untuk mengukur intensi kewirausahaan. Seluruh butir pertanyaan diukur dengan menggunakan skala Likert 7-poin. Informasi tentang jenis kelamin, usia, pendidikan dan pengalaman kerja
responden juga dikumpulkan.
Kuesioner didesain dalam tiga bahasa, bahasa Indonesia untuk mahasiswa Indonesia, bahasa Jepang untuk mahasiswa Jepang dan bahasa Inggris untuk mahasiswa Norwegia.
Kuesioner penelitian
didistribusikan secara langsung
dengan tujuan untuk mendapatkan tingkat pengembalian
yang
tinggi. Pengumpulan data dilakukan
di sekitar
kampus,
terutama di
area publik seperti kantin,
perpustakaan, dan laboratorium komputer.
Teknik ini digunakan agar peneliti dapat memperoleh
responden dari latar belakang demografi
yang berbeda-beda, kecuali
pada mahasiswa Jepang, karena area penelitian hanya
dibatasi di sekolah ekonomi dan
bisnis, HUE, Jepang. Pengumpulan data
dilakukan
pada periode 2002-2006, dengan sampel keseluruhan adalah 332; 130 mahasiswa
Indonesia (tingkat kembalian
= 65%) , 81 mahasiswa
Jepang (tingkat kembalian
= 81%) dan 121 mahasiswa
Norwegia (tingkat kembalian = 60%).
Karakteristik responden dirangkum dalam Tabel 1.
Tabel 1. Karakteristik
Demografis Responden
Karakteristik
Indonesia
(n=130)
Jepang
(n=81)
Norwegia
(n=121)
n
%
N
%
N
%
Jenis Kelamin
Æ’ Laki-laki
Æ’ Perempuan
66
64
50,8
49,2
64
17
79,0
21,0
76
45
62,8
37,2
Usia (tahun)
Æ’ <
25
Æ’ >=
25
110
20
84,6
15,4
79
2
97,5
2,5
61
60
50,4
49,6
Latar Belakang Pendidikan
Æ’ Ekonomi dan Bisnis
Æ’ Non-Ekonomi
dan Bisnis
72
58
55,4
44,6
81
0
100,0
0,0
83
38
68,6
31,4
Pengalaman Kerja
Æ’ Tidak
Pernah
Æ’ Sektor Publik/Pemerintah
Æ’ Sektor Swasta
Æ’ Kedua Sektor Tersebut
73
8
47
2
56,2
6,2
36,2
1,5
78
0
3
0
96,3
0,0
3,7
0,0
24
26
51
20
19,8
21,5
42,1
16,5
Sumber: Data Primer diolah
Hampir lebih dari 50%
responden di tiga negara
adalah laki-laki (66% Indonesia;
79% Jepang dan
62,8% Norwegia). Sebagian besar
responden berusia kurang dari 25 tahun (84% responden Indonesia; 50,4%
responden Norwegia dan 97,5% responden Jepang). Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, bahwa
pengambilan
sampel di Jepang dilakukan di HUE pada tingkat sarjana. Berdasarkan pengamatan, mayoritas mahasiswa HUE pada level sarjana berusia muda atau kurang dari 25 tahun. Selain itu, HUE
adalah sekolah khusus di bidang ekonomi dan bisnis, maka bisa dipastikan semua responden Jepang
berlatar belakang pendidikan ekonomi dan bisnis. Sementara, responden mahasiswa Indonesia dan Norwegia yang
berlatar belakang pendidikan ekonomi dan bisnis adalah 55,4% dan 68,6%. Hampir semua
responden Jepang tidak memiliki pengalaman bekerja (96,3%)
dan lebih dari 50% responden
Indonesia juga
belum pernah
bekerja. Sementara hanya 19,8% mahasiswa Norwegia yang belum pernah bekerja sebelumnya.
Tabel 2. Rangkuman Jawaban Responden
Variabel-Variabel
Indonesia
(n=130)
Jepang
(n=81)
Norwegia
(n=121)
Rerata
SD
Rerata
SD
Rerata
SD
Kebutuhan akan pencapaian (NACH)
Saya akan melakukan yang paling
baik pada tugas yang sulit yang
berhubungan
dengan studi dan
pekerjaan saya.
Saya akan
berusaha keras untuk memperbaiki
performa kerja sebelumnya.
Saya akan mencari
tambahan tanggung jawab
pada pekerjaan yang diberikan kepada saya.
Saya akan
berusaha untuk melakukan yang lebih
baik
dibandingkan
dengan teman saya.
5,78
6,20
4,69
5,92
1,06
0,98
1,42
1,03
4,38
4,67
4,00
4,38
1,27
1,36
1,24
1,39
4,70
4,95
4,94
4,56
1,05
1,12
1,17
1,37
Efikasi diri
(SELFEFF)
Saya
memiliki
keterampilan kepemimpinan yang
dibutuhkan untuk menjadi
seorang wirausahawan.
Saya memiliki
kematangan mental untuk memulai menjadi
seorang wirausahawan.
4,82
4,52
1,39
1,31
3,60
3,56
1,72
1,60
4,32
4,07
1,24
1,38
Kesiapan instrumentasi (INSTRU)
Saya memiliki
akses kepada modal untuk mulai
menjadi wirausahawan.
Saya memiliki
jaringan sosial yang bagus yang dapat
dimanfaatkan ketika saya memutuskan
untuk menjadi
seorang wirausahawan.
Saya
memiliki
akses terhadap informasi saat mulai menjadi seorang
wirausahawan.
3,66
4,46
4,59
1,50
1,54
1,43
2,64
3,13
3,35
1,96
2,05
1,94
2,57
3,91
3,46
1,61
1,32
1,48
Intensi kewirausahaan (INTENT)
Saya akan memilih karir sebagai
seorang wirausahawan. Saya
akan memilih karir sebagai
karyawan dalam suatu
perusahaan/organisasi
Saya lebih suka menjadi wirausahawan daripada menjadi
karyawan di suatu
perusahaan/organisasi
4,75
4,40
5,03
1,54
1,73
1,55
3,56
3,80
4,07
1,79
1,67
1,59
2,86
5,04
3,28
1,40
1,40
1,62
Sumber: Data
Primer diolah
Ket: SD = Standar Deviasi
Bagian utama kuesioner terdiri dari butir-butir
pertanyaan
(multi-item scale) terkait dengan variabel
utama penelitian. Beberapa butir pertanyaan digunakan untuk mengukur
pertanyaan-pertanyaan sikap sehingga dapat lebih menjamin asumsi
pengukuran level interval
dibandingkan jika hanya satu item pertanyaan
yang
diajukan (Remenyi, 2000). Indeks masing-masing
variabel dependen dan independen ditentukan
dari rata-rata jawaban responden untuk setiap konstruk
variabel. Jawaban responden atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan ditunjukkan dalam Tabel
2.
Pengujian asumsi
klasik dilakukan terlebih
dahulu sebelum analisis regresi
berganda. Uji ini dijalankan setelah mengkodekan
kembali (re-coding) skor butir 2 pertanyaan pada bagian intensi kewirausahaan. Koefisien
Alfa Cronbach semua
konstruk variabel bervariasi antara 0,71 sampai
0,84. Mengacu Nunally
(1978), nilai koefisien lebih dari
0,5 dapat diterima.
Hasil pengujian korelasi tiap negara
untuk melihat apakah terdapat masalah multikolinearitas menunjukkan bahwa semua nilai koefisien korelasi Pearson antar variabel berada di bawah
nilai 0,7, yang artinya tidak
dipertimbangkan memiliki korelasi yang kuat atau masalah multikolinearitas (Gujarati, 1995).
Pengujian Hipotesis
Pengujian
hipotesis dilakukan dengan analisis
regresi terhadap variabel-variabel independen: kebutuhan akan prestasi, efikasi diri dan kesiapan
instrumen. Variabel
demografi jender, umur, latar belakang
pendidikan dan pengalaman
bekerja dianggap sebagai variabel dummy dengan kode 0 dan 1. Untuk jender, 1 untuk laki-laki
dan 0 untuk perempuan.
Umur
dikode menjadi kelompok umur
dengan nilai tengah sebagai cut-off.
Kelompok
umur kurang dari 25 dikodekan
dengan 0 dan lebih dari 25 dengan 1.
Latar belakang pendidikan ekonomi
dan bisnis diberi kode 1 dan
non-ekonomi dan bisnis dengan kode 0.
Pengalaman bekerja diberi kode 1 dan belum bekerja
dengan kode 0. Tabel 3 merangkum hasil
pengujian hipotesis yang
dilakukan. Uraian tiap hipotesis dan pembahasan akan dijelaskan lebih lanjut.
Tabel 3. Hasil
Analisis Regresi
Variabel
β
Indonesia (n=130)
Jepang (n=81)
Norwegia (n=121)
Kebutuhan akan
prestasi
-0,038
0,041
0,030
Efikasi diri
0,351***
0,215
0,201*
Kesiapan instrumen
0,155
0,211
0,317**
Umur
-0,130
0,039
-0,055
Jender
-0,013
0,009
-0,082
Pendidikan
-0,180**
n/a
0,057
Pengalaman kerja
0,119
-0,071
0,172*
R2
0,282
0,142
0,248
Adjusted-R2
0,241
0,073
0,201
F(7, n-8)
6,840***
2,043*
5,322***
Sumber: Data
Primer diolah
Catatan: * p<0.10, **
p<0.05, ***
p<0.01
Pengujian variabel independen
Kebutuhan akan prestasi
Hipotesis 1 menyatakan bahwa kebutuhan akan prestasi berpengaruh positif terhadap intensi
kewirausahaan.
Hasil pengujian hipotesis tiap-tiap negara tidak dapat membuktikan
bahwa kebutuhan akan prestasi berpengaruh positif terhadap intensi kewirausahaan mahasiswa seperti yang tertera di Tabel 3. Temuan ini tidak mendukung
hasil penelitian-penelitian sebelumnya (McClelland,
1976; Sengupta dan Debnath, 1994, Cromie,
2000). Ukuran-ukuran prestasi yang lebih
mengedepankan keberhasilan bekerja di perusahaan
dan bukan menjadi wirausaha,
yang
ditunjukkan dari rata-rata nilai
intensi kewirausahaan masing-masing
negara, berturut-turut sebesar 4,46 (Indonesia), 3,81 (Jepang) dan 3,04
(Norwegia) merupakan salah satu
penjelas temuan ini.
Efikasi diri
Efikasi
diri
terbukti mempengaruhi intensi kewirausahaan mahasiswa Indonesia dan Norwegia (lihat Tabel
3). Semakin tinggi kepercayaan diri seorang mahasiswa atas
kemampuan dirinya
untuk dapat berusaha, maka
semakin besar
pula keinginannya untuk menjadi seorang wirausaha. Dengan demikian, hal ini membuktikan hipotesis 2 yang
menyebutkan
bahwa efikasi diri berpengaruh terhadap intensi
kewirausahaan.
Juga, sejalan dengan peneliti-peneliti
sebelumnya (misalnya Bandura (1986); Betz dan Hacket (1986); Cromie
(2000)). Akan tetapi, penelitian ini menemukan
bahwa efikasi diri tidak berpengaruh
signifikan dalam konteks
mahasiswa Jepang.
Kesiapan
instrumen
Analisis regresi menunjukkan bahwa kesiapan instrumen merupakan prediktor yang positif dan signifikan
hanya bagi intensi kewirausahaan mahasiswa Norwegia. Kesiapan instrumen yang baik
mencakup ketersediaan modal, jaringan sosial dan kemudahan akses pada informasi,
akan mendukung semangat
kewirausahaan. Temuan
ini memperkuat beberapa penelitian sebelumnya,
antara lain Sabbarwal
(1994), Kristiansen (2001) dan
Mazzarol et al., (1999). Sementara, kesiapan instrumen tidak signifikan mempengaruhi intensi
kewirausahaan mahasiswa
Indonesia dan Jepang.
Pengujian variabel demografi
Jender.
Analisis regresi tidak menunjukkan bahwa mahasiswa laki-laki mempunyai intensi kewirausahaan yang lebih tinggi dibandingkan mahasiswa perempuan. Dengan
demikian, hipotesis 4 tidak terbukti. Karenanya hasil penelitian
ini bertentangan dengan temuan sebelumnya (Mazzarol et al.,
1999; Kolvereid, 1996).
Umur.
Penelitian
ini juga tidak dapat
membuktikan hipotesis 5 yang menyatakan
bahwa mahasiswa yang
berusia muda memiliki intensi kewirausahaan
lebih dibandingkan
mereka
yang
berusia lebih tua. Temuan ini tidak mendukung penelitian
yang dilakukan oleh Sinha (1996) dan Reynolds
et al., (2000).
Latar
belakang pendidikan.
Untuk pengujian hipotesis latar belakang pendidikan, hanya akan dilakukan pada mahasiswa
Indonesia dan Norwegia. Seperti yang
dipaparkan sebelumnya, karena pengambilan sampel hanya
dilakukan terhadap mahasiswa
HUE Jepang yang hanya berlatar belakang ekonomi dan bisnis, sehingga analisis latar belakang pendidikan tidak dapat dilakukan pada data mahasiswa
Jepang.
Hasil pengujian hipotesis
6 pada mahasiswa
Norwegia tidak menunjukkan bahwa mahasiswa Norwegia berlatar belakang pendidikan ekonomi dan
bisnis memiliki intensi kewirausahaan yang lebih
tinggi dibandingkan yang non-ekonomi dan bisnis. Sebaliknya,
hasil analisis untuk mahasiwa Indonesia
dengan nilai β = -0,180 signifikan (lihat Tabel 3) mengindikasikan bahwa mahasiswa yang berlatar
belakang pendidikan ekonomi dan bisnis justru mempunyai intensi kewirausahaan yang lebih rendah. Temuan ini
bertolak
belakang dari penelitian-penelitian sebelumnya (Sinha, 1996 dan Lee, 1997).
Pengalaman
bekerja.
Penelitian ini dapat membuktikan
bahwa mahasiswa Norwegia yang memiliki pengalaman kerja akan memiliki intensi
kewirausahaan yang
lebih tinggi dibandingkan yang
tidak. Dengan demikian, hipotesis
7 terbukti. Hal ini sesuai dengan penelitian Scott dan Twomey (1988)
dan Kolvereid (1996). Akan tetapi,
tidak berlaku untuk mahasiswa Indonesia dan Jepang.
Diskusi dan Kesimpulan
Tulisan ini menggunakan data empiris dengan
mengambil kondisi negara yang sangat berbeda-beda; negara berkembang (Indonesia) dan negara-negara maju (Jepang
dan Norwegia).
Tujuan utama adalah untuk membandingkan pengaruh variabel-variabel yang terkait dengan perbedaan konteks ekonomi
dan budaya di tiga negara yang diteliti. Hasil penelitian menunjukkan tingkat intensi kewirausahaan mahasiswa
Indonesia signifikan lebih tinggi
dibandingkan mahasiswa Jepang
dan Norwegia. Tingkat kebutuhan akan
prestasi, efikasi diri dan kesiapan instrumen mahasiswa Indonesia signifikan lebih tinggi
dibandingkan mahasiswa Jepang dan Norwegia, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 4.
Tabel 4. Rata-rata dan Standar Deviasi Masing-masing Variabel
Variabel
Indonesia
Jepang
Norwegia
Rata-rata
SD
Rata-rata
SD
Rata-rata
SD
Kebutuhan akan prestasi
5,65
0,76
4,36
1,06
4,79
0,83
Efikasi diri
4,67
1,25
3,59
1,55
4,2
1,19
Kesiapan instrumen
4,24
1,23
3,05
1,84
3,32
1,19
Intensi
kewirausahaan
4,46
1,39
3,81
1,04
3,04
1,14
Sumber: Data Primer diolah
Skor
yang
lebih
rendah pada ukuran intensi kewirausahaan
antara mahasiswa Jepang dan Norwegia bukanlah hal yang mengejutkan. Jepang memiliki skor yang paling
rendah untuk nilai total aktivitas kewirausahaan sebesar 2,2% jauh dibandingkan
Norwegia 8,4% dan Indonesia 19,1% (GEM Report, 2006). Wirausaha di Jepang menghadapi
banyak kesulitan khususnya pada
saat mendirikan usaha baru.
Orang Jepang tidak menganggap negara mereka sebagai
negara yang mendukung
kewirausahaan. Peraturan pemerintah yang ketat,
dominasi
kelompok korporat besar di mayoritas
sektor industri, bank yang cukup konservatif dan sedikitnya
modal bagi
pendiri bisnis telah menurunkan
semangat mereka yang ingin menjadi wirausaha. Selain itu, budaya menghindari risiko yang masih berkembang dan penilaian yang lebih tinggi pada mereka
yang bekerja di perusahaan masih dirasa cukup menghambat
munculnya semangat
wirausaha di Jepang (Helms, 2003).
Kondisi
seperti ini juga terjadi
di negara maju, seperti
Norwegia,
di
mana aktivitas kewirausahaan dan proses
inovasi terjadi di perusahaan-perusahaan yang sudah eksis dan
berukuran besar. Berdasar temuan
sebelumnya, Norwegia
tercatat sebagai negara dengan nilai kewirausahaan yang paling
rendah diantara negara-negara OECD (Reynolds et al.,
2000). Tingkat pengangguran cukup relatif rendah di
Norwegia. Hanya sedikit orang dengan
pendidikan tinggi yang
perlu menunggu beberapa lama untuk mendapatkan pekerjaan baru. Dapat dipastikan
bahwa orang-orang yang memilih menjadi wirausaha adalah ketika mereka
merasa
tidak puas dengan
pekerjaan yang ada atau dengan
alasan untuk mendapatkan pendapatan yang lebih tinggi.
Hal ini sangat
berbeda dengan kondisi
di
Indonesia, di mana proses pengembangan perekonomian sangat bertumpu pada munculnya
usaha-usaha baru perorangan dan dalam
skala kecil. Dengan tingkat pengangguran yang relatif tinggi
mencapai 40%
(Kristiansen, 2003), menyebabkan rendahnya
hambatan masuk
dilihat dari investasi modal,
kompetensi dan informasi yang dibutuhkan untuk membuka usaha baru.
Akan lebih mudah di Indonesia untuk mendirikan usaha baru berskala kecil di
sektor- sektor informal, yang
menghindari aturan-aturan formal jika dibandingkan
dengan di Jepang dan Norwegia. Perbedaan nilai intensi
kewirausahaan yang substansial dan
signifikan lebih tinggi
bagi mahasiswa Indonesia dibandingkan Jepang dan Norwegia pada
variabel
kesiapan instrumen (lihat Tabel
4)
merupakan indikator yang jelas bahwa hambatan
untuk memulai usaha baru dipersepsikan lebih rendah di Indonesia dibandingkan di Jepang dan Norwegia.
Temuan menarik yang perlu dicatat terkait dengan latar belakang
pendidikan mahasiswa (hipotesis 6), menunjukkan bahwa mahasiswa
Indonesia dengan latar belakang ekonomi dan bisnis justru tidak terlalu
berminat untuk menjadi wirausaha. Hal
ini mungkin terkait
dengan orientasi pendidikan
atau kurikulum pendidikan ekonomi dan
bisnis yang tidak diarahkan untuk membentuk wirausaha. Akan tetapi, cenderung
untuk mempersiapkan dan membekali mahasiswa untuk
bekerja di
perusahaan-perusahaan
berskala besar dan mapan.
Jika memang orientasi pendidikan ekonomi
dan bisnis diarahkan pada terbentuknya
lulusan yang siap menjadi wirausaha, maka menjadi
penting bagi pihak universitas atau lembaga pendidikan terkait
untuk menyiapkan kurikulum
yang
dapat memfasilitasi dan meningkatkan semangat kewirausahaan.
Dengan demikian, diharapkan materi pendidikan
yang diberikan akan mendorong semangat
kewirausahaan di kalangan
mahasiswa dan lahirnya generasi
wirausaha baru Indonesia.
Seperti yang telah
dijabarkan sebelumnya, bahwa intensi kewirausahaan
dipengaruhi oleh variabel-variabel independen yang digunakan
dalam penelitian ini. Namun
cukup jelas, bahwa intensi kewirausahaan juga dipengaruhi oleh variabel-variabel di luar yang sudah diteliti. Memasukkan faktor-faktor seperti latar belakang keluarga, modal
sosial,
persepsi-persepsi kontekstual mungkin dapat meningkatkan kemampuan
penjelas model. Selain itu, menggunakan
jumlah responden yang lebih banyak
dan lebih representatif diharapkan dapat memberikan gambaran
yang
lebih lengkap tentang intensi
kewirausahaan antara mahasiswa Indonesia, Jepang dan Norwegia dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Beberapa hal
yang dapat disimpulkan dari
hasil
penelitian
ini adalah:
1. Secara umum,
penelitian menemukan bahwa
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
intensi kewirausahaan berbeda antara satu negara
dengan negara yang lain. Efikasi
diri terbukti mempengaruhi intensi mahasiswa Indonesia dan Norwegia. Kesiapan instrumen dan pengalaman bekerja sebelumnya menjadi faktor penentu intensi kewirausahaan bagi mahasiswa Norwegia. Latar belakangan pendidikan
menjadi
faktor penentu intensi bagi mahasiswa
Indonesia, hanya dengan
arah berlawanan.
2. Kebutuhan akan prestasi, umur, dan jender tidak
terbukti secara signifikan sebagai prediktor intensi kewirausahaan.
3. Hasil analisis regresi
menunjukkan bahwa variabel-variabel terkait dengan kepribadian, instrumen,
dan demografi bersama-sama secara signifikan menentukan
intensi kewirausahaan. Meskipun, kesemuanya hanya mampu menjelaskan sebesar
28,2% untuk Indonesia, 14,2%
untuk Jepang dan 24,8% untuk
Norwegia.
Sumber : nurulindarti.files.wordpress.com
Artikel ini terdiri dari empat bagian. Bagian pertama membahas
teori-teori kewirausahaan dan intensi
kewirausahaan
beserta
temuan-temuan empirisnya dan formulasi hipotesis. Uraian data dan metodologi penelitian akan dijabarkan pada
bagian
Landasan Teori
Penelitian
untuk melihat aspek
intensi kewirausahaan seseorang telah mendapat perhatian cukup besar dari para
peneliti. Intensi kewirausahaan dapat diartikan sebagai proses pencarian informasi
yang
dapat digunakan untuk mencapai
tujuan pembentukan suatu usaha (Katz dan Gartner,
1988). Seseorang dengan intensi
untuk memulai
usaha akan memiliki kesiapan dan
kemajuan yang lebih baik
dalam usaha yang dijalankan
dibandingkan seseorang tanpa intensi untuk memulai
usaha. Seperti
yang
dinyatakan oleh Krueger dan Carsrud
(1993), intensi telah terbukti menjadi prediktor
yang
terbaik bagi perilaku kewirausahaan. Oleh karena
itu, intensi dapat dijadikan
sebagai pendekatan
dasar
yang
masuk akal untuk memahami siapa-siapa
yang
akan menjadi wirausaha
(Choo dan Wong, 2006).
Secara garis besar penelitian
seputar
intensi kewirausahaan dilakukan
dengan melihat tiga hal secara
berbeda-beda:
karakteristik
kepribadian; karakteristik
demografis;
dan karakteristik lingkungan. Beberapa peneliti terdahulu membuktikan bahwa faktor kepribadian seperti
kebutuhan akan prestasi (McClelland,
1961; Sengupta dan Debnath,
1994)
dan efikasi diri (Gilles dan Rea, 1999; Indarti, 2004) merupakan prediktor signifikan intensi kewirausahaan.
Faktor demografi seperti umur, jenis kelamin, latar
belakang pendidikan dan pengalaman bekerja seseorang
diperhitungkan sebagai
penentu bagi intensi kewirausahaan. Sebagai contoh,
penelitian dari India (Sinha, 1996) menemukan bahwa latar belakang pendidikan
seseorang menentukan tingkat intensi
seseorang dan kesuksesan suatu bisnis yang
dijalankan. Kristiansen (2001;2002a) menyebut
bahwa faktor lingkungan seperti
hubungan sosial, infrastruktur fisik dan institusional serta faktor budaya dapat mempengaruhi intensi kewirausahaan.
Penelitian
ini bertujuan untuk melihat
faktor-faktor penentu intensi
kewirausahaan dengan
menggabungkan tiga pendekatan
(Indarti, 2004) yaitu :
1) faktor kepribadian: kebutuhan akan prestasi dan efikasi diri
2) faktor lingkungan, yang
dilihat pada tiga elemen
kontekstual: akses
kepada modal, informasi dan
jaringan sosial
3) faktor demografis: jender, umur, latar belakang pendidikan dan pengalaman bekerja.
Karakteristik kepribadian
Kebutuhan akan prestasi
McClelland (1961, 1971)
telah memperkenalkan konsep kebutuhan akan prestasi sebagai
salah satu motif psikologis.
Kebutuhan akan prestasi dapat diartikan sebagai suatu kesatuan watak yang memotivasi seseorang
untuk menghadapi tantangan
untuk mencapai kesuksesan dan
keunggulan (Lee, 1997: 103). Lebih lanjut, McClelland
(1976) menegaskan bahwa kebutuhan
akan prestasi sebagai salah satu karakteristik kepribadian seseorang yang akan mendorong
seseorang untuk memiliki intensi kewirausahaan. Menurutnya, ada tiga atribut yang melekat pada
seseorang
yang mempunyai
kebutuhan akan prestasi yang tinggi, yaitu (a) menyukai
tanggung jawab pribadi dalam mengambil
keputusan, (b) mau mengambil resiko sesuai dengan
kemampuannya,
dan (c) memiliki
minat
untuk selalu belajar dari keputusan yang
telah diambil.
Hasil penelitian dari
Scapinello (1989) menunjukkan
bahwa seseorang dengan tingkat kebutuhan akan prestasi yang
tinggi kurang dapat menerima
kegagalan daripada
mereka dengan kebutuhan
akan prestasi rendah. Dengan kata lain, kebutuhan akan prestasi
berpengaruh pada atribut
kesuksesan dan kegagalan. Sejalan
dengan hal tersebut, Sengupta dan
Debnath (1994) dalam penelitiannya di India menemukan
bahwa
kebutuhan akan prestasi
berpengaruh besar dalam tingkat
kesuksesan seorang wirausaha. Lebih spesifik,
kebutuhan akan prestasi juga dapat mendorong kemampuan
pengambilan keputusan dan kecenderungan untuk mengambil resiko
seorang wirausaha. Semakin
tinggi kebutuhan akan prestasi seorang wirausaha, semakin banyak keputusan tepat yang akan diambil.
Wirausaha dengan kebutuhan
akan prestasi tinggi adalah pengambil resiko yang moderat dan menyukai hal-hal
yang menyediakan balikan yang tepat
dan cepat.
Berdasarkan uraian
tersebut, maka hipotesis pertama
dirumuskan sebagai berikut:
Hipotesis 1: Kebutuhan akan prestasi
mempengaruhi intensi kewirausahaan
Efikasi diri
Bandura (1977: 2) mendefinisikan efikasi diri sebagai kepercayaan seseorang atas kemampuan dirinya
untuk menyelesaikan
suatu pekerjaan. Atau dengan kata lain, kondisi motivasi seseorang
yang
lebih didasarkan
pada
apa
yang
mereka
percaya
daripada apa yang secara
objektif benar.
Persepsi
pribadi seperti ini memegang peranan penting
dalam
pengembangan
intensi seseorang. Senada dengan hal tersebut, Cromie (2000)
menjelaskan bahwa
efikasi
diri
mempengaruhi kepercayaan seseorang pada tercapai atau tidaknya tujuan yang sudah
ditetapkan.
Lebih rinci, Bandura (1986) menjelaskan empat cara untuk mencapai efikasi diri. Pertama, pengalaman
sukses yang terjadi berulang-ulang.
Cara
ini dipandang sebagai cara yang
sangat efektif untuk mengembangkan
rasa yang kuat pada efikasi
diri. Kedua,
pembelajaran melalui
pengamatan secara langsung. Dengan cara ini, seseorang
akan memperkirakan keahlian dan perilaku yang relevan untuk
dijadikan contoh dalam mengerjakan sebuah tugas. Penilaian atas keahlian yang
dimilikinya juga dilakukan,
untuk mengetahui besar usaha yang harus dikeluarkan dalam rangka mencapai
keahlian yang dibutuhkan. Ketiga, persuasi sosial seperti diskusi yang
persuasif dan balikan kinerja yang
spesifik. Dengan metode ini, memungkinkan untuk menyajikan informasi terkait dengan kemampuan seseorang dalam menyelesaikan
suatu pekerjaan. Keempat,
penilaian terhadap
status psikologis yang dimiliki. Hal
ini berarti bahwa seseorang sudah
seharusnya meningkatkan kemampuan
emosional
dan fisik serta mengurangi
tingkat stress.
Disisi lain, banyak
peneliti percaya bahwa efikasi diri
terkait erat dengan pengembangan karir. Merujuk Betz dan Hacket
(1986), efikasi diri akan karir
seseorang adalah domain
yang
menggambarkan pendapat
pribadi seseorang dalam hubungannya dengan proses
pemilihan dan penyesuaian
karir. Dengan demikian, efikasi diri
akan karir seseorang dapat menjadi faktor penting dalam penentuan apakah
intensi kewirausahaan seseorang sudah terbentuk
pada tahapan awal seseorang memulai karirnya. Lebih lanjut, Betz dan Hacket menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat
efikasi diri seseorang pada kewirausahaan di
masa-masa
awal seseorang dalam berkarir,
semakin
kuat intensi kewirausahaan yang dimilikinya.
Selain itu, Gilles dan Rea (1999) membuktikan pentingnya efikasi diri dalam proses pengambilan keputusan terkait dengan karir seseorang. Efikasi diri terbukti signifikan menjadi penentu
intensi seseorang.
Berdasarkan uraian
tersebut, hipotesis
yang
akan dijawab dalam penelitian ini:
Hipotesis 2: Efikasi
diri berpengaruh terhadap intensi kewirausahaan
Elemen kontekstual
Tiga faktor
lingkungan yang dipercaya mempengaruhi wirausaha yaitu akses mereka kepada modal, informasi dan kualitas jaringan sosial yang
dimiliki, yang kemudian disebut kesiapan instrumen .
Akses
kepada modal
Jelas, akses kepada modal merupakan hambatan
klasik terutama dalam
memulai usaha-usaha baru, setidaknya
terjadi di negara-negara berkembang dengan dukungan lembaga-lembaga
penyedia keuangan
yang
tidak begitu kuat. Studi
empiris terdahulu menyebutkan bahwa kesulitan dalam
mendapatkan akses modal, skema kredit dan kendala sistem keuangan
dipandang sebagai
hambatan
utama dalam
kesuksesan usaha
menurut calon-calon wirausaha di
negara-negara
berkembang (Marsden,
1992; Meier dan Pilgrim, 1994;
Steel, 1994). Di negara-negara maju di mana
infrastruktur keuangan sangat efisien, akses kepada modal
juga dipersepsikan sebagai hambatan
untuk menjadi pilihan wirausaha
karena tingginya hambatan masuk
untuk mendapatkan modal
yang
besar terhadap rasio tenaga
kerja di banyak industri yang
ada. Penelitian relatif baru menyebutkan
bahwa akses kepada modal menjadi salah satu penentu kesuksesan suatu usaha
Ketersediaan informasi
Ketersediaan informasi
usaha merupakan faktor penting yang mendorong keinginan
seseorang untuk membuka
usaha baru (Indarti, 2004) dan faktor kritikal bagi pertumbuhan dan keberlangsungan usaha (Duh,
2003; Kristiansen, 2002b; Mead & Liedholm, 1998; Swierczek dan Ha, 2003). Penelitian
yang
dilakukan oleh Singh dan Krishna (1994) di India membuktikan
bahwa keinginan yang kuat untuk memperoleh
informasi adalah salah satu
karakter
utama
seorang wirausaha. Pencarian informasi
mengacu pada frekuensi kontak yang dibuat oleh seseorang dengan berbagai sumber informasi. Hasil dari aktivitas tersebut sering tergantung pada ketersediaan informasi, baik melalui usaha sendiri
atau sebagai
bagian
dari
sumber daya sosial
dan jaringan. Ketersediaan informasi baru akan tergantung pada
karakteristik seseorang,
seperti tingkat pendidikan dan kualitas infrastruktur, meliputi
cakupan media dan sistem telekomunikasi
(Kristiansen, 2002b).
Jaringan
sosial
Mazzarol et al. (1999) menyebutkan bahwa jaringan sosial mempengaruhi
intensi kewirausahaan. Jaringan
sosial didefinisikan sebagai hubungan antara dua orang yang mencakup a) komunikasi atau penyampaian
informasi
dari satu pihak ke pihak lain;
b) pertukaran barang dan jasa
dari
dua belah pihak; dan c) muatan normatif atau ekspektasi yang dimiliki
oleh seseorang terhadap orang lain karena karakter-karakter
atau atribut khusus yang ada. Bagi wirausaha, jaringan merupakan
alat mengurangi resiko dan biaya transaksi serta memperbaiki
akses
terhadap ide-ide bisnis, informasi
dan
modal (Aldrich dan Zimmer,
1986). Hal senada diungkap oleh Kristiansen
(2003) yang menjelaskan bahwa jaringan sosial terdiri dari hubungan formal dan informal antara pelaku
utama
dan pendukung dalam satu
lingkaran terkait dan menggambarkan
jalur bagi wirausaha untuk mendapatkan akses kepada sumber daya yang diperlukan dalam pendirian, perkembangan dan kesuksesan usaha. Dari penjelasan tersebut, maka
hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini
adalah:
Hipotesis 3: Kesiapan instrumen berpengaruh terhadap
intensi kewirausahaan
Faktor demografis: jender, umur, pendidikan dan pengalaman
bekerja
Penelitian-penelitian
terdahulu menunjukkan bahwa faktor-faktor demografis seperti jender, umur, pendidikan dan pengalaman bekerja seseorang
berpengaruh
terhadap
keinginannya untuk menjadi seorang
wirausaha (Mazzarol et al., 1999; Tkachev dan Kolvereid,
1999).
Jender
Pengaruh jender atau jenis kelamin terhadap
intensi seseorang menjadi
wirausaha telah banyak diteliti
(Mazzarol et al., 1999;
Kolvereid, 1996; Matthews dan Moser,
1996; Schiller dan Crewson, 1997). Seperti yang sudah
diduga, bahwa mahasiswa
laki-laki memiliki intensi yang lebih kuat dibandingkan mahasiswa
perempuan. Secara
umum,
sektor wiraswasta adalah sektor
yang
didominasi oleh kaum laki-laki. Mazzarol et al., (1999) membuktikan
bahwa perempuan cenderung kurang menyukai
untuk membuka
usaha baru dibandingkan kaum laki-laki. Temuan
serupa juga disampaikan oleh
Kolvereid
(1996), laki-laki terbukti mempunyai
intensi kewirausahaan yang lebih
tinggi dibandingkan perempuan.
Penelitian yang dilakukan oleh Matthews dan Moser (1996) pada lulusan master di Amerika
dengan menggunakan studi longitudinal menemukan bahwa minat laki-laki untuk berwirausaha konsisten
dibandingkan minat perempuan yang berubah menurut waktu. Schiller dan Crawson (1997) menemukan adanya
perbedaan
yang signifikan dalam hal
kesuksesan usaha dan kesuksesan dalam berwirausaha
antara perempuan dan laki-laki.
Berdasarkan uraian tersebut, hipotesis yang akan dijawab dalam penelitian ini dirumuskan:
Hipotesis 4: Intensi kewirausahaan berhubungan dengan jender; laki-laki mempunyai intensi kewirausahaan lebih tinggi.
Umur
Hasil penelitian yang dilakukan
oleh Sinha (1996) di India, menunjukkan bahwa hampir sebagian besar wirausaha yang sukses adalah mereka yang berusia
relatif muda. Hal ini senada dengan
Reynolds et al., (2000)
yang menyatakan bahwa seseorang berusia
25-44 tahun adalah usia-usia paling
aktif untuk berwirausaha di negara-negara barat.
Hasil
penelitian terbaru terhadap wirausaha
warnet di Indonesia membuktikan bahwa usia wirausaha berkorelasi signifikan terhadap kesuksesan
usaha
yang
dijalankan (Kristiansen et
al.,
2003). Senada dengan hal itu, Dalton dan Holloway (1989) membuktikan
bahwa banyak calon wirausaha yang
telah mendapat tanggung jawab besar
pada saat berusia muda, bahkan layaknya seperti menjalankan usaha baru. Oleh karena itu, rumusan hipotesis yang akan diteliti adalah:
Hipotesis 5: Mahasiswa yang berusia muda memiliki
intensi kewirausahaan yang lebih tinggi
dibandingkan mereka yang berusia tua.
Latar
belakang pendidikan
Latar belakang pendidikan
seseorang
terutama yang terkait dengan
bidang usaha, seperti bisnis dan manajemen
atau ekonomi dipercaya akan mempengaruhi
keinginan dan minatnya
untuk memulai
usaha baru di masa mendatang.
Sebuah studi dari India membuktikan bahwa latar belakang pendidikan menjadi salah satu penentu penting
intensi
kewirausahaan dan kesuksesan usaha yang
dijalankan (Sinha, 1996). Penelitian
lain, Lee (1997) yang mengkaji perempuan wirausaha menemukan bahwa perempuan berpendidikan
universitas mempunyai kebutuhan akan prestasi yang
tinggi untuk menjadi wirausaha.
Hipotesis 6: Mahasiswa yang berlatar belakang pendidikan ekonomi dan bisnis memiliki
intensi kewirausahaan yang lebih
tinggi dibandingkan mereka yang berlatar belakang pendidikan
non-ekonomi dan bisnis..
Pengalaman
kerja
Kolvereid (1996) menemukan bahwa seseorang
yang memiliki pengalaman
bekerja mempunyai intensi kewirausahaan yang lebih tinggi dibandingkan mereka
yang
tidak pernah bekerja sebelumnya.
Sebaliknya, secara lebih spesifik, penelitian yang
dilakukan oleh Mazzarol et
al.,
(1999) membuktikan bahwa seseorang yang pernah bekerja di sektor pemerintahan cenderung
kurang sukses untuk memulai
usaha. Namun, Mazzarol et al.,
(1999) tidak menganalisis hubungan
antara pengalaman kerja di sektor
swasta terhadap intensi kewirausahaan. Scott dan Twomey (1988) meneliti beberapa faktor seperti pengaruh orang
tua dan pengalaman kerja yang akan mempengaruhi persepsi seseorang
terhadap suatu usaha dan sikap orang tersebut terhadap keinginannya untuk menjadi
karyawan atau wirausaha. Lebih lanjut, mereka menyebutkan
bahwa jika kondisi lingkungan sosial seseorang pada saat dia berusia muda kondusif untuk kewirausahaan dan seseorang tersebut memiliki pengalaman yang positif terhadap sebuah usaha, maka
dapat dipastikan orang tersebut mempunyai
gambaran yang baik tentang kewirausahaan.
Dengan demikian, maka dapat dikemukakan
hipotesis sebagai berikut: Hipotesis 7: Mahasiswa yang memiliki pengalaman
kerja memiliki intensi kewirausahaan yang lebih tinggi
dibandingkan dengan mereka yang belum pernah bekerja sebelumnya.
Data dan Metodologi
Sampel penelitian
ini adalah mahasiswa
sarjana (S1) dari Universitas Gadjah
Mada, Indonesia, Agder University College,
Norwegia dan Hiroshima University of Economics
(HUE), Jepang. Pengambilan
sampel didasarkan pada judgement atau purposive sampling, sampel
dipilih dengan adanya beberapa
kriteria tertentu yang digunakan oleh peneliti (Remenyi, 2000).
Instrumen penelitian terdiri
dari tiga variabel penelitian
yang
dioperasionalisasikan menjadi
beberapa butir pertanyaan.
Satu variabel dependen digunakan untuk mengukur intensi kewirausahaan. Seluruh butir pertanyaan diukur dengan menggunakan skala Likert 7-poin. Informasi tentang jenis kelamin, usia, pendidikan dan pengalaman kerja
responden juga dikumpulkan.
Kuesioner didesain dalam tiga bahasa, bahasa Indonesia untuk mahasiswa Indonesia, bahasa Jepang untuk mahasiswa Jepang dan bahasa Inggris untuk mahasiswa Norwegia.
Kuesioner penelitian
didistribusikan secara langsung
dengan tujuan untuk mendapatkan tingkat pengembalian
yang
tinggi. Pengumpulan data dilakukan
di sekitar
kampus,
terutama di
area publik seperti kantin,
perpustakaan, dan laboratorium komputer.
Teknik ini digunakan agar peneliti dapat memperoleh
responden dari latar belakang demografi
yang berbeda-beda, kecuali
pada mahasiswa Jepang, karena area penelitian hanya
dibatasi di sekolah ekonomi dan
bisnis, HUE, Jepang. Pengumpulan data
dilakukan
pada periode 2002-2006, dengan sampel keseluruhan adalah 332; 130 mahasiswa
Indonesia (tingkat kembalian
= 65%) , 81 mahasiswa
Jepang (tingkat kembalian
= 81%) dan 121 mahasiswa
Norwegia (tingkat kembalian = 60%).
Karakteristik responden dirangkum dalam Tabel 1.
Tabel 1. Karakteristik
Demografis Responden
Karakteristik
|
Indonesia
(n=130)
|
Jepang
(n=81)
|
Norwegia
(n=121)
|
|||
n
|
%
|
N
|
%
|
N
|
%
|
|
Jenis Kelamin
Æ’ Laki-laki
Æ’ Perempuan
|
66
64
|
50,8
49,2
|
64
17
|
79,0
21,0
|
76
45
|
62,8
37,2
|
Usia (tahun)
Æ’ <
25
Æ’ >=
25
|
110
20
|
84,6
15,4
|
79
2
|
97,5
2,5
|
61
60
|
50,4
49,6
|
Latar Belakang Pendidikan
Æ’ Ekonomi dan Bisnis
Æ’ Non-Ekonomi
dan Bisnis
|
72
58
|
55,4
44,6
|
81
0
|
100,0
0,0
|
83
38
|
68,6
31,4
|
Pengalaman Kerja
Æ’ Tidak
Pernah
Æ’ Sektor Publik/Pemerintah
Æ’ Sektor Swasta
Æ’ Kedua Sektor Tersebut
|
73
8
47
2
|
56,2
6,2
36,2
1,5
|
78
0
3
0
|
96,3
0,0
3,7
0,0
|
24
26
51
20
|
19,8
21,5
42,1
16,5
|
Sumber: Data Primer diolah
Hampir lebih dari 50%
responden di tiga negara
adalah laki-laki (66% Indonesia;
79% Jepang dan
62,8% Norwegia). Sebagian besar
responden berusia kurang dari 25 tahun (84% responden Indonesia; 50,4%
responden Norwegia dan 97,5% responden Jepang). Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, bahwa
pengambilan
sampel di Jepang dilakukan di HUE pada tingkat sarjana. Berdasarkan pengamatan, mayoritas mahasiswa HUE pada level sarjana berusia muda atau kurang dari 25 tahun. Selain itu, HUE
adalah sekolah khusus di bidang ekonomi dan bisnis, maka bisa dipastikan semua responden Jepang
berlatar belakang pendidikan ekonomi dan bisnis. Sementara, responden mahasiswa Indonesia dan Norwegia yang
berlatar belakang pendidikan ekonomi dan bisnis adalah 55,4% dan 68,6%. Hampir semua
responden Jepang tidak memiliki pengalaman bekerja (96,3%)
dan lebih dari 50% responden
Indonesia juga
belum pernah
bekerja. Sementara hanya 19,8% mahasiswa Norwegia yang belum pernah bekerja sebelumnya.
Tabel 2. Rangkuman Jawaban Responden
Variabel-Variabel
|
Indonesia
(n=130)
|
Jepang
(n=81)
|
Norwegia
(n=121)
|
|||
Rerata
|
SD
|
Rerata
|
SD
|
Rerata
|
SD
|
|
Kebutuhan akan pencapaian (NACH)
Saya akan melakukan yang paling
baik pada tugas yang sulit yang
berhubungan
dengan studi dan
pekerjaan saya.
Saya akan
berusaha keras untuk memperbaiki
performa kerja sebelumnya.
Saya akan mencari
tambahan tanggung jawab
pada pekerjaan yang diberikan kepada saya.
Saya akan
berusaha untuk melakukan yang lebih
baik
dibandingkan
dengan teman saya.
|
5,78
6,20
4,69
5,92
|
1,06
0,98
1,42
1,03
|
4,38
4,67
4,00
4,38
|
1,27
1,36
1,24
1,39
|
4,70
4,95
4,94
4,56
|
1,05
1,12
1,17
1,37
|
Efikasi diri
(SELFEFF)
Saya
memiliki
keterampilan kepemimpinan yang
dibutuhkan untuk menjadi
seorang wirausahawan.
Saya memiliki
kematangan mental untuk memulai menjadi
seorang wirausahawan.
|
4,82
4,52
|
1,39
1,31
|
3,60
3,56
|
1,72
1,60
|
4,32
4,07
|
1,24
1,38
|
Kesiapan instrumentasi (INSTRU)
Saya memiliki
akses kepada modal untuk mulai
menjadi wirausahawan.
Saya memiliki
jaringan sosial yang bagus yang dapat
dimanfaatkan ketika saya memutuskan
untuk menjadi
seorang wirausahawan.
Saya
memiliki
akses terhadap informasi saat mulai menjadi seorang
wirausahawan.
|
3,66
4,46
4,59
|
1,50
1,54
1,43
|
2,64
3,13
3,35
|
1,96
2,05
1,94
|
2,57
3,91
3,46
|
1,61
1,32
1,48
|
Intensi kewirausahaan (INTENT)
Saya akan memilih karir sebagai
seorang wirausahawan. Saya
akan memilih karir sebagai
karyawan dalam suatu
perusahaan/organisasi
Saya lebih suka menjadi wirausahawan daripada menjadi
karyawan di suatu
perusahaan/organisasi
|
4,75
4,40
5,03
|
1,54
1,73
1,55
|
3,56
3,80
4,07
|
1,79
1,67
1,59
|
2,86
5,04
3,28
|
1,40
1,40
1,62
|
Sumber: Data
Primer diolah
Ket: SD = Standar Deviasi
Bagian utama kuesioner terdiri dari butir-butir
pertanyaan
(multi-item scale) terkait dengan variabel
utama penelitian. Beberapa butir pertanyaan digunakan untuk mengukur
pertanyaan-pertanyaan sikap sehingga dapat lebih menjamin asumsi
pengukuran level interval
dibandingkan jika hanya satu item pertanyaan
yang
diajukan (Remenyi, 2000). Indeks masing-masing
variabel dependen dan independen ditentukan
dari rata-rata jawaban responden untuk setiap konstruk
variabel. Jawaban responden atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan ditunjukkan dalam Tabel
2.
Pengujian asumsi
klasik dilakukan terlebih
dahulu sebelum analisis regresi
berganda. Uji ini dijalankan setelah mengkodekan
kembali (re-coding) skor butir 2 pertanyaan pada bagian intensi kewirausahaan. Koefisien
Alfa Cronbach semua
konstruk variabel bervariasi antara 0,71 sampai
0,84. Mengacu Nunally
(1978), nilai koefisien lebih dari
0,5 dapat diterima.
Hasil pengujian korelasi tiap negara
untuk melihat apakah terdapat masalah multikolinearitas menunjukkan bahwa semua nilai koefisien korelasi Pearson antar variabel berada di bawah
nilai 0,7, yang artinya tidak
dipertimbangkan memiliki korelasi yang kuat atau masalah multikolinearitas (Gujarati, 1995).
Pengujian Hipotesis
Pengujian
hipotesis dilakukan dengan analisis
regresi terhadap variabel-variabel independen: kebutuhan akan prestasi, efikasi diri dan kesiapan
instrumen. Variabel
demografi jender, umur, latar belakang
pendidikan dan pengalaman
bekerja dianggap sebagai variabel dummy dengan kode 0 dan 1. Untuk jender, 1 untuk laki-laki
dan 0 untuk perempuan.
Umur
dikode menjadi kelompok umur
dengan nilai tengah sebagai cut-off.
Kelompok
umur kurang dari 25 dikodekan
dengan 0 dan lebih dari 25 dengan 1.
Latar belakang pendidikan ekonomi
dan bisnis diberi kode 1 dan
non-ekonomi dan bisnis dengan kode 0.
Pengalaman bekerja diberi kode 1 dan belum bekerja
dengan kode 0. Tabel 3 merangkum hasil
pengujian hipotesis yang
dilakukan. Uraian tiap hipotesis dan pembahasan akan dijelaskan lebih lanjut.
Tabel 3. Hasil
Analisis Regresi
Variabel
|
β
|
||
Indonesia (n=130)
|
Jepang (n=81)
|
Norwegia (n=121)
|
|
Kebutuhan akan
prestasi
|
-0,038
|
0,041
|
0,030
|
Efikasi diri
|
0,351***
|
0,215
|
0,201*
|
Kesiapan instrumen
|
0,155
|
0,211
|
0,317**
|
Umur
|
-0,130
|
0,039
|
-0,055
|
Jender
|
-0,013
|
0,009
|
-0,082
|
Pendidikan
|
-0,180**
|
n/a
|
0,057
|
Pengalaman kerja
|
0,119
|
-0,071
|
0,172*
|
R2
|
0,282
|
0,142
|
0,248
|
Adjusted-R2
|
0,241
|
0,073
|
0,201
|
F(7, n-8)
|
6,840***
|
2,043*
|
5,322***
|
Sumber: Data
Primer diolah
Catatan: * p<0.10, **
p<0.05, ***
p<0.01
Pengujian variabel independen
Kebutuhan akan prestasi
Hipotesis 1 menyatakan bahwa kebutuhan akan prestasi berpengaruh positif terhadap intensi
kewirausahaan.
Hasil pengujian hipotesis tiap-tiap negara tidak dapat membuktikan
bahwa kebutuhan akan prestasi berpengaruh positif terhadap intensi kewirausahaan mahasiswa seperti yang tertera di Tabel 3. Temuan ini tidak mendukung
hasil penelitian-penelitian sebelumnya (McClelland,
1976; Sengupta dan Debnath, 1994, Cromie,
2000). Ukuran-ukuran prestasi yang lebih
mengedepankan keberhasilan bekerja di perusahaan
dan bukan menjadi wirausaha,
yang
ditunjukkan dari rata-rata nilai
intensi kewirausahaan masing-masing
negara, berturut-turut sebesar 4,46 (Indonesia), 3,81 (Jepang) dan 3,04
(Norwegia) merupakan salah satu
penjelas temuan ini.
Efikasi diri
Efikasi
diri
terbukti mempengaruhi intensi kewirausahaan mahasiswa Indonesia dan Norwegia (lihat Tabel
3). Semakin tinggi kepercayaan diri seorang mahasiswa atas
kemampuan dirinya
untuk dapat berusaha, maka
semakin besar
pula keinginannya untuk menjadi seorang wirausaha. Dengan demikian, hal ini membuktikan hipotesis 2 yang
menyebutkan
bahwa efikasi diri berpengaruh terhadap intensi
kewirausahaan.
Juga, sejalan dengan peneliti-peneliti
sebelumnya (misalnya Bandura (1986); Betz dan Hacket (1986); Cromie
(2000)). Akan tetapi, penelitian ini menemukan
bahwa efikasi diri tidak berpengaruh
signifikan dalam konteks
mahasiswa Jepang.
Kesiapan
instrumen
Analisis regresi menunjukkan bahwa kesiapan instrumen merupakan prediktor yang positif dan signifikan
hanya bagi intensi kewirausahaan mahasiswa Norwegia. Kesiapan instrumen yang baik
mencakup ketersediaan modal, jaringan sosial dan kemudahan akses pada informasi,
akan mendukung semangat
kewirausahaan. Temuan
ini memperkuat beberapa penelitian sebelumnya,
antara lain Sabbarwal
(1994), Kristiansen (2001) dan
Mazzarol et al., (1999). Sementara, kesiapan instrumen tidak signifikan mempengaruhi intensi
kewirausahaan mahasiswa
Indonesia dan Jepang.
Pengujian variabel demografi
Jender.
Analisis regresi tidak menunjukkan bahwa mahasiswa laki-laki mempunyai intensi kewirausahaan yang lebih tinggi dibandingkan mahasiswa perempuan. Dengan
demikian, hipotesis 4 tidak terbukti. Karenanya hasil penelitian
ini bertentangan dengan temuan sebelumnya (Mazzarol et al.,
1999; Kolvereid, 1996).
Umur.
Penelitian
ini juga tidak dapat
membuktikan hipotesis 5 yang menyatakan
bahwa mahasiswa yang
berusia muda memiliki intensi kewirausahaan
lebih dibandingkan
Latar
belakang pendidikan.
Untuk pengujian hipotesis latar belakang pendidikan, hanya akan dilakukan pada mahasiswa
Indonesia dan Norwegia. Seperti yang
dipaparkan sebelumnya, karena pengambilan sampel hanya
dilakukan terhadap mahasiswa
HUE Jepang yang hanya berlatar belakang ekonomi dan bisnis, sehingga analisis latar belakang pendidikan tidak dapat dilakukan pada data mahasiswa
Jepang.
Hasil pengujian hipotesis
6 pada mahasiswa
Norwegia tidak menunjukkan bahwa mahasiswa Norwegia berlatar belakang pendidikan ekonomi dan
bisnis memiliki intensi kewirausahaan yang lebih
tinggi dibandingkan yang non-ekonomi dan bisnis. Sebaliknya,
hasil analisis untuk mahasiwa Indonesia
dengan nilai β = -0,180 signifikan (lihat Tabel 3) mengindikasikan bahwa mahasiswa yang berlatar
belakang pendidikan ekonomi dan bisnis justru mempunyai intensi kewirausahaan yang lebih rendah. Temuan ini
bertolak
belakang dari penelitian-penelitian sebelumnya (Sinha, 1996 dan Lee, 1997).
Pengalaman
bekerja.
Penelitian ini dapat membuktikan
bahwa mahasiswa Norwegia yang memiliki pengalaman kerja akan memiliki intensi
kewirausahaan yang
lebih tinggi dibandingkan yang
tidak. Dengan demikian, hipotesis
7 terbukti. Hal ini sesuai dengan penelitian Scott dan Twomey (1988)
dan Kolvereid (1996). Akan tetapi,
tidak berlaku untuk mahasiswa Indonesia dan Jepang.
Diskusi dan Kesimpulan
Tulisan ini menggunakan data empiris dengan
mengambil kondisi negara yang sangat berbeda-beda; negara berkembang (Indonesia) dan negara-negara maju (Jepang
dan Norwegia).
Tujuan utama adalah untuk membandingkan pengaruh variabel-variabel yang terkait dengan perbedaan konteks ekonomi
dan budaya di tiga negara yang diteliti. Hasil penelitian menunjukkan tingkat intensi kewirausahaan mahasiswa
Indonesia signifikan lebih tinggi
dibandingkan mahasiswa Jepang
dan Norwegia. Tingkat kebutuhan akan
prestasi, efikasi diri dan kesiapan instrumen mahasiswa Indonesia signifikan lebih tinggi
dibandingkan mahasiswa Jepang dan Norwegia, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 4.
Tabel 4. Rata-rata dan Standar Deviasi Masing-masing Variabel
Variabel
|
Indonesia
|
Jepang
|
Norwegia
|
|||
Rata-rata
|
SD
|
Rata-rata
|
SD
|
Rata-rata
|
SD
|
|
Kebutuhan akan prestasi
|
5,65
|
0,76
|
4,36
|
1,06
|
4,79
|
0,83
|
Efikasi diri
|
4,67
|
1,25
|
3,59
|
1,55
|
4,2
|
1,19
|
Kesiapan instrumen
|
4,24
|
1,23
|
3,05
|
1,84
|
3,32
|
1,19
|
Intensi
kewirausahaan
|
4,46
|
1,39
|
3,81
|
1,04
|
3,04
|
1,14
|
Sumber: Data Primer diolah
Skor
yang
lebih
rendah pada ukuran intensi kewirausahaan
antara mahasiswa Jepang dan Norwegia bukanlah hal yang mengejutkan. Jepang memiliki skor yang paling
rendah untuk nilai total aktivitas kewirausahaan sebesar 2,2% jauh dibandingkan
Norwegia 8,4% dan Indonesia 19,1% (GEM Report, 2006). Wirausaha di Jepang menghadapi
banyak kesulitan khususnya pada
saat mendirikan usaha baru.
Orang Jepang tidak menganggap negara mereka sebagai
negara yang mendukung
kewirausahaan. Peraturan pemerintah yang ketat,
dominasi
kelompok korporat besar di mayoritas
sektor industri, bank yang cukup konservatif dan sedikitnya
modal bagi
pendiri bisnis telah menurunkan
semangat mereka yang ingin menjadi wirausaha. Selain itu, budaya menghindari risiko yang masih berkembang dan penilaian yang lebih tinggi pada mereka
yang bekerja di perusahaan masih dirasa cukup menghambat
munculnya semangat
wirausaha di Jepang (Helms, 2003).
Kondisi
seperti ini juga terjadi
di negara maju, seperti
Norwegia,
di
mana aktivitas kewirausahaan dan proses
inovasi terjadi di perusahaan-perusahaan yang sudah eksis dan
berukuran besar. Berdasar temuan
sebelumnya, Norwegia
tercatat sebagai negara dengan nilai kewirausahaan yang paling
rendah diantara negara-negara OECD (Reynolds et al.,
2000). Tingkat pengangguran cukup relatif rendah di
Norwegia. Hanya sedikit orang dengan
pendidikan tinggi yang
perlu menunggu beberapa lama untuk mendapatkan pekerjaan baru. Dapat dipastikan
bahwa orang-orang yang memilih menjadi wirausaha adalah ketika mereka
merasa
tidak puas dengan
pekerjaan yang ada atau dengan
alasan untuk mendapatkan pendapatan yang lebih tinggi.
Hal ini sangat
berbeda dengan kondisi
di
Indonesia, di mana proses pengembangan perekonomian sangat bertumpu pada munculnya
usaha-usaha baru perorangan dan dalam
skala kecil. Dengan tingkat pengangguran yang relatif tinggi
mencapai 40%
(Kristiansen, 2003), menyebabkan rendahnya
hambatan masuk
dilihat dari investasi modal,
kompetensi dan informasi yang dibutuhkan untuk membuka usaha baru.
Akan lebih mudah di Indonesia untuk mendirikan usaha baru berskala kecil di
sektor- sektor informal, yang
menghindari aturan-aturan formal jika dibandingkan
dengan di Jepang dan Norwegia. Perbedaan nilai intensi
kewirausahaan yang substansial dan
signifikan lebih tinggi
bagi mahasiswa Indonesia dibandingkan Jepang dan Norwegia pada
variabel
kesiapan instrumen (lihat Tabel
4)
merupakan indikator yang jelas bahwa hambatan
untuk memulai usaha baru dipersepsikan lebih rendah di Indonesia dibandingkan di Jepang dan Norwegia.
Temuan menarik yang perlu dicatat terkait dengan latar belakang
pendidikan mahasiswa (hipotesis 6), menunjukkan bahwa mahasiswa
Indonesia dengan latar belakang ekonomi dan bisnis justru tidak terlalu
berminat untuk menjadi wirausaha. Hal
ini mungkin terkait
dengan orientasi pendidikan
atau kurikulum pendidikan ekonomi dan
bisnis yang tidak diarahkan untuk membentuk wirausaha. Akan tetapi, cenderung
untuk mempersiapkan dan membekali mahasiswa untuk
bekerja di
perusahaan-perusahaan
berskala besar dan mapan.
Jika memang orientasi pendidikan ekonomi
dan bisnis diarahkan pada terbentuknya
lulusan yang siap menjadi wirausaha, maka menjadi
penting bagi pihak universitas atau lembaga pendidikan terkait
untuk menyiapkan kurikulum
yang
dapat memfasilitasi dan meningkatkan semangat kewirausahaan.
Dengan demikian, diharapkan materi pendidikan
yang diberikan akan mendorong semangat
kewirausahaan di kalangan
mahasiswa dan lahirnya generasi
wirausaha baru Indonesia.
Seperti yang telah
dijabarkan sebelumnya, bahwa intensi kewirausahaan
dipengaruhi oleh variabel-variabel independen yang digunakan
dalam penelitian ini. Namun
cukup jelas, bahwa intensi kewirausahaan juga dipengaruhi oleh variabel-variabel di luar yang sudah diteliti. Memasukkan faktor-faktor seperti latar belakang keluarga, modal
sosial,
persepsi-persepsi kontekstual mungkin dapat meningkatkan kemampuan
penjelas model. Selain itu, menggunakan
jumlah responden yang lebih banyak
dan lebih representatif diharapkan dapat memberikan gambaran
yang
lebih lengkap tentang intensi
kewirausahaan antara mahasiswa Indonesia, Jepang dan Norwegia dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar