Minggu, 06 Oktober 2013

Perbandingan Kewirausahaan Di Indonesia,Jepang,Norwegia

Artikel ini terdiri dari empat bagian. Bagian pertama membahas teori-teori kewirausahaan dan intensi kewirausahaan beserta temuan-temuan empirisnya dan formulasi hipotesis. Uraian data dan metodologi penelitian akan dijabarkan pada bagian
  kedua, dilanjutkan dengan pengujian hipotesis ketiga. Bagian akhir memuat diskusi,  kesimpulan, keterbatasan dan implikasi bagi penelitian selanjutnya.



Landasan Teori

Penelitian untuk melihat aspek intensi kewirausahaan seseorang telah mendapat perhatian cukup besar dari para peneliti. Intensi kewirausahaan dapat diartikan sebagai proses pencarian informasi yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan pembentukan suatu usaha (Katz dan Gartner, 1988). Seseorang dengan intensi untuk memulai usaha akan memiliki kesiapan dan kemajuan yang lebih baik dalam usaha yang dijalankan dibandingkan seseorang tanpa intensi untuk memulai usaha. Seperti yang dinyatakan oleh Krueger dan Carsrud (1993), intensi telah terbukti menjadi prediktor yang terbaik bagi perilaku kewirausahaan. Oleh karena itu, intensi dapat dijadikan sebagai pendekatan
dasar yang masuk akal untuk memahami siapa-siapa yang akan menjadi wirausaha (Choo dan Wong, 2006).
Secara garis besar penelitian seputar intensi kewirausahaan dilakukan dengan melihat tiga hal secara berbeda-beda: karakteristik kepribadian; karakteristik demografis; dan karakteristik lingkungan. Beberapa peneliti terdahulu membuktikan bahwa faktor kepribadian seperti kebutuhan akan prestasi (McClelland, 1961; Sengupta dan Debnath,
1994) dan efikasi diri (Gilles dan Rea, 1999; Indarti, 2004) merupakan prediktor signifikan intensi kewirausahaan. Faktor demografi seperti umur, jenis kelamin, latar belakang pendidikan dan pengalaman bekerja seseorang diperhitungkan sebagai penentu bagi intensi kewirausahaan. Sebagai contoh, penelitian dari India (Sinha, 1996) menemukan bahwa latar belakang pendidikan seseorang menentukan tingkat intensi

seseorang dan kesuksesan suatu bisnis yang dijalankan. Kristiansen (2001;2002a) menyebut bahwa faktor lingkungan seperti hubungan sosial, infrastruktur fisik dan institusional serta faktor budaya dapat mempengaruhi intensi kewirausahaan.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat faktor-faktor penentu intensi kewirausahaan dengan menggabungkan tiga pendekatan (Indarti, 2004) yaitu : 
1) faktor kepribadian: kebutuhan akan prestasi dan efikasi diri
 2) faktor lingkungan, yang dilihat pada tiga elemen kontekstual: akses kepada modal,  informasi dan jaringan sosial  
3) faktor demografis: jender, umur, latar belakang pendidikan dan pengalaman bekerja.



Karakteristik kepribadian

Kebutuhan akan prestasi

McClelland (1961, 1971) telah memperkenalkan konsep kebutuhan akan prestasi sebagai salah satu motif psikologis. Kebutuhan akan prestasi dapat diartikan sebagai suatu kesatuan watak yang memotivasi seseorang untuk menghadapi tantangan untuk mencapai kesuksesan dan keunggulan (Lee, 1997: 103). Lebih lanjut, McClelland (1976) menegaskan bahwa kebutuhan akan prestasi sebagai salah satu karakteristik kepribadian seseorang yang akan mendorong seseorang untuk memiliki intensi kewirausahaan. Menurutnya, ada tiga atribut yang melekat pada seseorang yang mempunyai kebutuhan akan prestasi yang tinggi, yaitu (a) menyukai tanggung jawab pribadi dalam mengambil keputusan, (b) mau mengambil resiko sesuai dengan kemampuannya, dan (c) memiliki minat untuk selalu belajar dari keputusan yang telah diambil.
Hasil penelitian dari Scapinello (1989) menunjukkan bahwa seseorang dengan tingkat kebutuhan akan prestasi yang tinggi kurang dapat menerima kegagalan daripada

mereka dengan kebutuhan akan prestasi rendah. Dengan kata lain, kebutuhan akan prestasi berpengaruh pada atribut kesuksesan dan kegagalan. Sejalan dengan hal tersebut, Sengupta dan Debnath (1994) dalam penelitiannya di India menemukan bahwa
kebutuhan akan prestasi berpengaruh besar dalam tingkat kesuksesan seorang wirausaha. Lebih spesifik, kebutuhan akan prestasi juga dapat mendorong kemampuan pengambilan keputusan dan kecenderungan untuk mengambil resiko seorang wirausaha. Semakin tinggi kebutuhan akan prestasi seorang wirausaha, semakin banyak keputusan tepat yang akan diambil. Wirausaha dengan kebutuhan akan prestasi tinggi adalah pengambil resiko yang moderat dan menyukai hal-hal yang menyediakan balikan yang tepat dan cepat.

Berdasarkan uraian tersebut, maka hipotesis pertama dirumuskan sebagai berikut:

Hipotesis 1: Kebutuhan akan prestasi mempengaruhi intensi kewirausahaan


 Efikasi diri

Bandura (1977: 2) mendefinisikan efikasi diri sebagai kepercayaan seseorang atas kemampuan dirinya untuk menyelesaikan suatu pekerjaan. Atau dengan kata lain, kondisi motivasi seseorang yang lebih didasarkan pada apa yang mereka percaya daripada apa yang secara objektif benar. Persepsi pribadi seperti ini memegang peranan penting dalam pengembangan intensi seseorang. Senada dengan hal tersebut, Cromie (2000)
menjelaskan bahwa efikasi diri mempengaruhi kepercayaan seseorang pada tercapai atau tidaknya tujuan yang sudah ditetapkan.
Lebih rinci, Bandura (1986) menjelaskan empat cara untuk mencapai efikasi diri. Pertama, pengalaman sukses yang terjadi berulang-ulang. Cara ini dipandang sebagai cara yang sangat efektif untuk mengembangkan rasa yang kuat pada efikasi diri. Kedua,
pembelajaran melalui pengamatan secara langsung. Dengan cara ini, seseorang akan memperkirakan keahlian dan perilaku yang relevan untuk dijadikan contoh dalam mengerjakan sebuah tugas. Penilaian atas keahlian yang dimilikinya juga dilakukan, untuk mengetahui besar usaha yang harus dikeluarkan dalam rangka mencapai keahlian yang dibutuhkan. Ketiga, persuasi sosial seperti diskusi yang persuasif dan balikan kinerja yang spesifik. Dengan metode ini, memungkinkan untuk menyajikan informasi terkait dengan kemampuan seseorang dalam menyelesaikan suatu pekerjaan. Keempat, penilaian terhadap status psikologis yang dimiliki. Hal ini berarti bahwa seseorang sudah seharusnya meningkatkan kemampuan emosional dan fisik serta mengurangi tingkat stress.
Disisi lain, banyak peneliti percaya bahwa efikasi diri terkait erat dengan pengembangan karir. Merujuk Betz dan Hacket (1986), efikasi diri akan karir seseorang adalah domain yang menggambarkan pendapat pribadi seseorang dalam hubungannya dengan proses pemilihan dan penyesuaian karir. Dengan demikian, efikasi diri akan karir seseorang dapat menjadi faktor penting dalam penentuan apakah intensi kewirausahaan seseorang sudah terbentuk pada tahapan awal seseorang memulai karirnya. Lebih lanjut, Betz dan Hacket menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat efikasi diri seseorang pada kewirausahaan di masa-masa awal seseorang dalam berkarir, semakin kuat intensi kewirausahaan yang dimilikinya. Selain itu, Gilles dan Rea (1999) membuktikan pentingnya efikasi diri dalam proses pengambilan keputusan terkait dengan karir seseorang. Efikasi diri terbukti signifikan menjadi penentu intensi seseorang.
Berdasarkan uraian tersebut, hipotesis yang akan dijawab dalam penelitian ini:

Hipotesis 2: Efikasi diri berpengaruh terhadap intensi kewirausahaan

Elemen kontekstual

Tiga faktor lingkungan yang dipercaya mempengaruhi wirausaha yaitu akses mereka kepada modal, informasi dan kualitas jaringan sosial yang dimiliki, yang kemudian disebut kesiapan instrumen .
Akses kepada modal

Jelas, akses kepada modal merupakan hambatan klasik terutama dalam memulai usaha-usaha baru, setidaknya terjadi di negara-negara berkembang dengan dukungan lembaga-lembaga penyedia keuangan yang tidak begitu kuat. Studi
empiris terdahulu menyebutkan bahwa kesulitan dalam mendapatkan akses modal, skema kredit dan kendala sistem keuangan dipandang sebagai hambatan utama dalam
kesuksesan usaha menurut calon-calon wirausaha di negara-negara berkembang (Marsden, 1992; Meier dan Pilgrim, 1994; Steel, 1994). Di negara-negara maju di mana infrastruktur keuangan sangat efisien, akses kepada modal juga dipersepsikan sebagai hambatan untuk menjadi pilihan wirausaha karena tingginya hambatan masuk untuk mendapatkan modal yang besar terhadap rasio tenaga kerja di banyak industri yang ada. Penelitian relatif baru menyebutkan bahwa akses kepada modal menjadi salah satu penentu kesuksesan suatu usaha
Ketersediaan informasi

Ketersediaan informasi usaha merupakan faktor penting yang mendorong keinginan seseorang untuk membuka usaha baru (Indarti, 2004) dan faktor kritikal bagi pertumbuhan dan keberlangsungan usaha (Duh, 2003; Kristiansen, 2002b; Mead & Liedholm, 1998; Swierczek dan Ha, 2003). Penelitian yang dilakukan oleh Singh dan Krishna (1994) di India membuktikan bahwa keinginan yang kuat untuk memperoleh

informasi adalah salah satu karakter utama seorang wirausaha. Pencarian informasi mengacu pada frekuensi kontak yang dibuat oleh seseorang dengan berbagai sumber informasi. Hasil dari aktivitas tersebut sering tergantung pada ketersediaan informasi, baik melalui usaha sendiri atau sebagai bagian dari sumber daya sosial dan jaringan. Ketersediaan informasi baru akan tergantung pada karakteristik seseorang, seperti tingkat pendidikan dan kualitas infrastruktur, meliputi cakupan media dan sistem telekomunikasi (Kristiansen, 2002b).
Jaringan sosial

Mazzarol et al. (1999) menyebutkan bahwa jaringan sosial mempengaruhi intensi kewirausahaan. Jaringan sosial didefinisikan sebagai hubungan antara dua orang yang mencakup a) komunikasi atau penyampaian informasi dari satu pihak ke pihak lain; b) pertukaran barang dan jasa dari dua belah pihak; dan c) muatan normatif atau ekspektasi yang dimiliki oleh seseorang terhadap orang lain karena karakter-karakter atau atribut khusus yang ada. Bagi wirausaha, jaringan merupakan alat mengurangi resiko dan biaya transaksi serta memperbaiki akses terhadap ide-ide bisnis, informasi dan modal (Aldrich dan Zimmer, 1986). Hal senada diungkap oleh Kristiansen (2003) yang menjelaskan bahwa jaringan sosial terdiri dari hubungan formal dan informal antara pelaku utama dan pendukung dalam satu lingkaran terkait dan menggambarkan jalur bagi wirausaha untuk mendapatkan akses kepada sumber daya yang diperlukan dalam pendirian, perkembangan dan kesuksesan usaha. Dari penjelasan tersebut, maka hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini adalah:
Hipotesis 3: Kesiapan instrumen berpengaruh terhadap intensi kewirausahaan

Faktor demografis: jender, umur, pendidikan dan pengalaman bekerja

Penelitian-penelitian terdahulu menunjukkan bahwa faktor-faktor demografis seperti jender, umur, pendidikan dan pengalaman bekerja seseorang berpengaruh
terhadap keinginannya untuk menjadi seorang wirausaha (Mazzarol et al., 1999; Tkachev dan Kolvereid, 1999).
Jender

Pengaruh jender atau jenis kelamin terhadap intensi seseorang menjadi wirausaha telah banyak diteliti (Mazzarol et al., 1999; Kolvereid, 1996; Matthews dan Moser, 1996; Schiller dan Crewson, 1997). Seperti yang sudah diduga, bahwa mahasiswa laki-laki memiliki intensi yang lebih kuat dibandingkan mahasiswa perempuan. Secara umum, sektor wiraswasta adalah sektor yang didominasi oleh kaum laki-laki. Mazzarol et al., (1999) membuktikan bahwa perempuan cenderung kurang menyukai untuk membuka usaha baru dibandingkan kaum laki-laki. Temuan serupa juga disampaikan oleh
Kolvereid (1996), laki-laki terbukti mempunyai intensi kewirausahaan yang lebih tinggi dibandingkan perempuan. Penelitian yang dilakukan oleh Matthews dan Moser (1996) pada lulusan master di Amerika dengan menggunakan studi longitudinal menemukan bahwa minat laki-laki untuk berwirausaha konsisten dibandingkan minat perempuan yang berubah menurut waktu. Schiller dan Crawson (1997) menemukan adanya perbedaan
yang signifikan dalam hal kesuksesan usaha dan kesuksesan dalam berwirausaha antara perempuan dan laki-laki.
Berdasarkan uraian tersebut, hipotesis yang akan dijawab dalam penelitian ini dirumuskan:
Hipotesis 4: Intensi kewirausahaan berhubungan dengan jender; laki-laki mempunyai intensi kewirausahaan lebih tinggi.

Umur

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sinha (1996) di India, menunjukkan bahwa hampir sebagian besar wirausaha yang sukses adalah mereka yang berusia relatif muda. Hal ini senada dengan Reynolds et al., (2000) yang menyatakan bahwa seseorang berusia
25-44 tahun adalah usia-usia paling aktif untuk berwirausaha di negara-negara barat.

Hasil penelitian terbaru terhadap wirausaha warnet di Indonesia membuktikan bahwa usia wirausaha berkorelasi signifikan terhadap kesuksesan usaha yang dijalankan (Kristiansen et al., 2003). Senada dengan hal itu, Dalton dan Holloway (1989) membuktikan bahwa banyak calon wirausaha yang telah mendapat tanggung jawab besar pada saat berusia muda, bahkan layaknya seperti menjalankan usaha baru. Oleh karena itu, rumusan hipotesis yang akan diteliti adalah:

Hipotesis 5: Mahasiswa yang berusia muda memiliki intensi kewirausahaan yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang berusia tua.

Latar belakang pendidikan

Latar belakang pendidikan seseorang terutama yang terkait dengan bidang usaha, seperti bisnis dan manajemen atau ekonomi dipercaya akan mempengaruhi keinginan dan minatnya untuk memulai usaha baru di masa mendatang. Sebuah studi dari India membuktikan bahwa latar belakang pendidikan menjadi salah satu penentu penting
intensi kewirausahaan dan kesuksesan usaha yang dijalankan (Sinha, 1996). Penelitian lain, Lee (1997) yang mengkaji perempuan wirausaha menemukan bahwa perempuan berpendidikan universitas mempunyai kebutuhan akan prestasi yang tinggi untuk menjadi wirausaha.

Hipotesis 6: Mahasiswa yang berlatar belakang pendidikan ekonomi dan bisnis memiliki intensi kewirausahaan yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang berlatar belakang pendidikan non-ekonomi dan bisnis..

Pengalaman kerja

Kolvereid (1996) menemukan bahwa seseorang yang memiliki pengalaman bekerja mempunyai intensi kewirausahaan yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang tidak pernah bekerja sebelumnya. Sebaliknya, secara lebih spesifik, penelitian yang dilakukan oleh Mazzarol et al., (1999) membuktikan bahwa seseorang yang pernah bekerja di sektor pemerintahan cenderung kurang sukses untuk memulai usaha. Namun, Mazzarol et al., (1999) tidak menganalisis hubungan antara pengalaman kerja di sektor swasta terhadap intensi kewirausahaan. Scott dan Twomey (1988) meneliti beberapa faktor seperti pengaruh orang tua dan pengalaman kerja yang akan mempengaruhi persepsi seseorang terhadap suatu usaha dan sikap orang tersebut terhadap keinginannya untuk menjadi karyawan atau wirausaha. Lebih lanjut, mereka menyebutkan bahwa jika kondisi lingkungan sosial seseorang pada saat dia berusia muda kondusif untuk kewirausahaan dan seseorang tersebut memiliki pengalaman yang positif terhadap sebuah usaha, maka dapat dipastikan orang tersebut mempunyai gambaran yang baik tentang kewirausahaan.
Dengan demikian, maka dapat dikemukakan hipotesis sebagai berikut: Hipotesis 7: Mahasiswa yang memiliki pengalaman kerja memiliki intensi kewirausahaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang belum pernah bekerja sebelumnya.

Data dan Metodologi

Sampel penelitian ini adalah mahasiswa sarjana (S1) dari Universitas Gadjah Mada, Indonesia, Agder University College, Norwegia dan Hiroshima University of Economics (HUE), Jepang. Pengambilan sampel didasarkan pada judgement atau purposive sampling, sampel dipilih dengan adanya beberapa kriteria tertentu yang digunakan oleh peneliti (Remenyi, 2000).
Instrumen penelitian terdiri dari tiga variabel penelitian yang dioperasionalisasikan menjadi beberapa butir pertanyaan. Satu variabel dependen digunakan untuk mengukur intensi kewirausahaan. Seluruh butir pertanyaan diukur dengan menggunakan skala Likert 7-poin. Informasi tentang jenis kelamin, usia, pendidikan dan pengalaman kerja responden juga dikumpulkan. Kuesioner didesain dalam tiga bahasa, bahasa Indonesia untuk mahasiswa Indonesia, bahasa Jepang untuk mahasiswa Jepang dan bahasa Inggris untuk mahasiswa Norwegia.
Kuesioner penelitian didistribusikan secara langsung dengan tujuan untuk mendapatkan tingkat pengembalian yang tinggi. Pengumpulan data dilakukan di sekitar kampus, terutama di area publik seperti kantin, perpustakaan, dan laboratorium komputer. Teknik ini digunakan agar peneliti dapat memperoleh responden dari latar belakang demografi yang berbeda-beda, kecuali pada mahasiswa Jepang, karena area penelitian hanya dibatasi di sekolah ekonomi dan bisnis, HUE, Jepang. Pengumpulan data
dilakukan pada periode 2002-2006, dengan sampel keseluruhan adalah 332; 130 mahasiswa Indonesia (tingkat kembalian = 65%) , 81 mahasiswa Jepang (tingkat kembalian = 81%) dan 121 mahasiswa Norwegia (tingkat kembalian = 60%). 
Karakteristik responden dirangkum dalam Tabel 1.

Tabel 1. Karakteristik Demografis Responden


Karakteristik
Indonesia
(n=130)
Jepang
(n=81)
Norwegia
(n=121)
n
%
N
%
N
%
Jenis Kelamin
Æ’   Laki-laki
Æ’   Perempuan

66
64

50,8
49,2

64
17

79,0
21,0

76
45

62,8
37,2
Usia (tahun)
Æ’   < 25
Æ’   >= 25

110
20

84,6
15,4

79
2

97,5
2,5

61
60

50,4
49,6
Latar Belakang Pendidikan
Æ’   Ekonomi dan Bisnis
Æ’   Non-Ekonomi dan Bisnis

72
58

55,4
44,6

81
0

100,0
0,0

83
38

68,6
31,4
Pengalaman Kerja
Æ’   Tidak Pernah
Æ’   Sektor Publik/Pemerintah
Æ’   Sektor Swasta
Æ’   Kedua Sektor Tersebut

73
8
47
2

56,2
6,2
36,2
1,5

78
0
3
0

96,3
0,0
3,7
0,0

24
26
51
20

19,8
21,5
42,1
16,5
Sumber: Data Primer diolah




Hampir lebih dari 50% responden di tiga negara adalah laki-laki (66% Indonesia;

79% Jepang dan 62,8% Norwegia). Sebagian besar responden berusia kurang dari 25 tahun (84% responden Indonesia; 50,4% responden Norwegia dan 97,5% responden Jepang). Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, bahwa pengambilan sampel di Jepang dilakukan di HUE pada tingkat sarjana. Berdasarkan pengamatan, mayoritas mahasiswa HUE pada level sarjana berusia muda atau kurang dari 25 tahun. Selain itu, HUE adalah sekolah khusus di bidang ekonomi dan bisnis, maka bisa dipastikan semua responden Jepang berlatar belakang pendidikan ekonomi dan bisnis. Sementara, responden mahasiswa Indonesia dan Norwegia yang berlatar belakang pendidikan ekonomi dan bisnis adalah 55,4% dan 68,6%. Hampir semua responden Jepang tidak memiliki pengalaman bekerja (96,3%) dan lebih dari 50% responden Indonesia juga

belum pernah bekerja. Sementara hanya 19,8% mahasiswa Norwegia yang belum pernah bekerja sebelumnya.



Tabel 2. Rangkuman Jawaban Responden


Variabel-Variabel
Indonesia
(n=130)
Jepang
(n=81)
Norwegia
(n=121)
Rerata
SD
Rerata
SD
Rerata
SD
Kebutuhan akan pencapaian (NACH)
Saya akan melakukan yang paling baik pada tugas yang sulit yang berhubungan dengan studi dan pekerjaan saya.
Saya akan berusaha keras untuk memperbaiki performa kerja sebelumnya.
Saya akan mencari tambahan tanggung jawab pada pekerjaan yang diberikan kepada saya.
Saya akan berusaha untuk melakukan yang lebih baik
dibandingkan dengan teman saya.


5,78

6,20

4,69

5,92


1,06

0,98

1,42

1,03


4,38

4,67

4,00

4,38


1,27

1,36

1,24

1,39


4,70

4,95

4,94

4,56


1,05

1,12

1,17

1,37
Efikasi diri (SELFEFF)
Saya memiliki keterampilan kepemimpinan yang dibutuhkan untuk menjadi seorang wirausahawan.
Saya memiliki kematangan mental untuk memulai menjadi seorang wirausahawan.


4,82

4,52


1,39

1,31


3,60

3,56


1,72

1,60


4,32

4,07


1,24

1,38
Kesiapan instrumentasi (INSTRU)
Saya memiliki akses kepada modal untuk mulai menjadi wirausahawan.
Saya memiliki jaringan sosial yang bagus yang dapat dimanfaatkan ketika saya memutuskan untuk menjadi
seorang wirausahawan.
Saya memiliki akses terhadap informasi saat mulai menjadi seorang wirausahawan.


3,66


4,46


4,59


1,50


1,54


1,43


2,64


3,13


3,35


1,96


2,05


1,94


2,57


3,91


3,46


1,61


1,32


1,48
Intensi kewirausahaan (INTENT)
Saya akan memilih karir sebagai seorang wirausahawan. Saya akan memilih karir sebagai karyawan dalam suatu
perusahaan/organisasi
Saya lebih suka menjadi wirausahawan daripada menjadi karyawan di suatu perusahaan/organisasi

4,75

4,40

5,03

1,54

1,73

1,55

3,56

3,80

4,07

1,79

1,67

1,59

2,86

5,04

3,28

1,40

1,40

1,62
Sumber: Data Primer diolah
Ket: SD = Standar Deviasi



Bagian utama kuesioner terdiri dari butir-butir pertanyaan (multi-item scale) terkait dengan variabel utama penelitian. Beberapa butir pertanyaan digunakan untuk mengukur pertanyaan-pertanyaan sikap sehingga dapat lebih menjamin asumsi pengukuran level interval dibandingkan jika hanya satu item pertanyaan yang diajukan (Remenyi, 2000). Indeks masing-masing variabel dependen dan independen ditentukan

dari rata-rata jawaban responden untuk setiap konstruk variabel. Jawaban responden atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan ditunjukkan dalam Tabel 2.
Pengujian asumsi klasik dilakukan terlebih dahulu sebelum analisis regresi berganda. Uji ini dijalankan setelah mengkodekan kembali (re-coding) skor butir 2 pertanyaan pada bagian intensi kewirausahaan. Koefisien Alfa Cronbach semua konstruk variabel bervariasi antara 0,71 sampai 0,84. Mengacu Nunally (1978), nilai koefisien lebih dari 0,5 dapat diterima. Hasil pengujian korelasi tiap negara untuk melihat apakah terdapat masalah multikolinearitas menunjukkan bahwa semua nilai koefisien korelasi Pearson antar variabel berada di bawah nilai 0,7, yang artinya tidak dipertimbangkan memiliki korelasi yang kuat atau masalah multikolinearitas (Gujarati, 1995).


Pengujian Hipotesis

Pengujian hipotesis dilakukan dengan analisis regresi terhadap variabel-variabel independen: kebutuhan akan prestasi, efikasi diri dan kesiapan instrumen. Variabel demografi jender, umur, latar belakang pendidikan dan pengalaman bekerja dianggap sebagai variabel dummy dengan kode 0 dan 1. Untuk jender, 1 untuk laki-laki dan 0 untuk perempuan. Umur dikode menjadi kelompok umur dengan nilai tengah sebagai cut-off. Kelompok umur kurang dari 25 dikodekan dengan 0 dan lebih dari 25 dengan 1. Latar belakang pendidikan ekonomi dan bisnis diberi kode 1 dan non-ekonomi dan bisnis dengan kode 0.  Pengalaman bekerja diberi kode 1 dan belum bekerja dengan kode 0. Tabel 3 merangkum hasil pengujian hipotesis yang dilakukan. Uraian tiap hipotesis dan pembahasan akan dijelaskan lebih lanjut.

Tabel 3. Hasil Analisis Regresi


Variabel
β
Indonesia (n=130)
Jepang (n=81)
Norwegia (n=121)
Kebutuhan akan prestasi
-0,038
0,041
0,030
Efikasi diri
0,351***
0,215
0,201*
Kesiapan instrumen
0,155
0,211
0,317**
Umur
-0,130
0,039
-0,055
Jender
-0,013
0,009
-0,082
Pendidikan
-0,180**
n/a
0,057
Pengalaman kerja
0,119
-0,071
0,172*
R2
0,282
0,142
0,248
Adjusted-R2
0,241
0,073
0,201
F(7, n-8)
6,840***
2,043*
5,322***
Sumber: Data Primer diolah
Catatan: * p<0.10, ** p<0.05, *** p<0.01



Pengujian variabel independen

Kebutuhan akan prestasi

Hipotesis 1 menyatakan bahwa kebutuhan akan prestasi berpengaruh positif terhadap intensi kewirausahaan. Hasil pengujian hipotesis tiap-tiap negara tidak dapat membuktikan bahwa kebutuhan akan prestasi berpengaruh positif terhadap intensi kewirausahaan mahasiswa seperti yang tertera di Tabel 3. Temuan ini tidak mendukung hasil penelitian-penelitian sebelumnya (McClelland, 1976; Sengupta dan Debnath, 1994, Cromie, 2000). Ukuran-ukuran prestasi yang lebih mengedepankan keberhasilan bekerja di perusahaan dan bukan menjadi wirausaha, yang ditunjukkan dari rata-rata nilai intensi kewirausahaan masing-masing negara, berturut-turut sebesar 4,46 (Indonesia), 3,81 (Jepang) dan 3,04 (Norwegia) merupakan salah satu penjelas temuan ini.
Efikasi diri

Efikasi diri terbukti mempengaruhi intensi kewirausahaan mahasiswa Indonesia dan Norwegia (lihat Tabel 3). Semakin tinggi kepercayaan diri seorang mahasiswa atas

kemampuan dirinya untuk dapat berusaha, maka semakin besar pula keinginannya untuk menjadi seorang wirausaha. Dengan demikian, hal ini membuktikan hipotesis 2 yang menyebutkan bahwa efikasi diri berpengaruh terhadap intensi kewirausahaan. Juga, sejalan dengan peneliti-peneliti sebelumnya (misalnya Bandura (1986); Betz dan Hacket (1986); Cromie (2000)). Akan tetapi, penelitian ini menemukan bahwa efikasi diri tidak berpengaruh signifikan dalam konteks mahasiswa Jepang.
Kesiapan instrumen

Analisis regresi menunjukkan bahwa kesiapan instrumen merupakan prediktor yang positif dan signifikan hanya bagi intensi kewirausahaan mahasiswa Norwegia. Kesiapan instrumen yang baik mencakup ketersediaan modal, jaringan sosial dan kemudahan akses pada informasi, akan mendukung semangat kewirausahaan. Temuan ini memperkuat beberapa penelitian sebelumnya, antara lain Sabbarwal (1994), Kristiansen (2001) dan Mazzarol et al., (1999). Sementara, kesiapan instrumen tidak signifikan mempengaruhi intensi kewirausahaan mahasiswa Indonesia dan Jepang.



Pengujian variabel demografi

Jender

Analisis regresi tidak menunjukkan bahwa mahasiswa laki-laki mempunyai intensi kewirausahaan yang lebih tinggi dibandingkan mahasiswa perempuan. Dengan demikian, hipotesis 4 tidak terbukti. Karenanya hasil penelitian ini bertentangan dengan temuan sebelumnya (Mazzarol et al., 1999; Kolvereid, 1996). 
Umur
Penelitian ini juga tidak dapat membuktikan hipotesis 5 yang menyatakan bahwa mahasiswa yang berusia muda memiliki intensi kewirausahaan lebih dibandingkan
mereka yang berusia lebih tua. Temuan ini tidak mendukung penelitian yang dilakukan oleh Sinha (1996) dan Reynolds et al., (2000).
Latar belakang pendidikan
Untuk pengujian hipotesis latar belakang pendidikan, hanya akan dilakukan pada mahasiswa Indonesia dan Norwegia. Seperti yang dipaparkan sebelumnya, karena pengambilan sampel hanya dilakukan terhadap mahasiswa HUE Jepang yang hanya berlatar belakang ekonomi dan bisnis, sehingga analisis latar belakang pendidikan tidak dapat dilakukan pada data mahasiswa Jepang. Hasil pengujian hipotesis
6 pada mahasiswa Norwegia tidak menunjukkan bahwa mahasiswa Norwegia berlatar belakang pendidikan ekonomi dan bisnis memiliki intensi kewirausahaan yang lebih tinggi dibandingkan yang non-ekonomi dan bisnis. Sebaliknya, hasil analisis untuk mahasiwa Indonesia dengan nilai β = -0,180 signifikan (lihat Tabel 3) mengindikasikan bahwa mahasiswa yang berlatar belakang pendidikan ekonomi dan bisnis justru mempunyai intensi kewirausahaan yang lebih rendah. Temuan ini bertolak belakang dari penelitian-penelitian sebelumnya (Sinha, 1996 dan Lee, 1997).
Pengalaman bekerja
Penelitian ini dapat membuktikan bahwa mahasiswa Norwegia yang memiliki pengalaman kerja akan memiliki intensi kewirausahaan yang lebih tinggi dibandingkan yang tidak. Dengan demikian, hipotesis 7 terbukti. Hal ini sesuai dengan penelitian Scott dan Twomey (1988) dan Kolvereid (1996). Akan tetapi, tidak berlaku untuk mahasiswa Indonesia dan Jepang.



Diskusi dan Kesimpulan

Tulisan ini menggunakan data empiris dengan mengambil kondisi negara yang sangat berbeda-beda; negara berkembang (Indonesia) dan negara-negara maju (Jepang

dan Norwegia). Tujuan utama adalah untuk membandingkan pengaruh variabel-variabel yang terkait dengan perbedaan konteks ekonomi dan budaya di tiga negara yang diteliti. Hasil penelitian menunjukkan tingkat intensi kewirausahaan mahasiswa Indonesia signifikan lebih tinggi dibandingkan mahasiswa Jepang dan Norwegia. Tingkat kebutuhan akan prestasi, efikasi diri dan kesiapan instrumen mahasiswa Indonesia signifikan lebih tinggi dibandingkan mahasiswa Jepang dan Norwegia, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 4.



Tabel 4. Rata-rata dan Standar Deviasi Masing-masing Variabel


Variabel
Indonesia
Jepang
Norwegia
Rata-rata
SD
Rata-rata
SD
Rata-rata
SD
Kebutuhan akan prestasi
5,65
0,76
4,36
1,06
4,79
0,83
Efikasi diri
4,67
1,25
3,59
1,55
4,2
1,19
Kesiapan instrumen
4,24
1,23
3,05
1,84
3,32
1,19
Intensi kewirausahaan
4,46
1,39
3,81
1,04
3,04
1,14
Sumber: Data Primer diolah




Skor yang lebih rendah pada ukuran intensi kewirausahaan antara mahasiswa Jepang dan Norwegia bukanlah hal yang mengejutkan. Jepang memiliki skor yang paling rendah untuk nilai total aktivitas kewirausahaan sebesar 2,2% jauh dibandingkan Norwegia 8,4% dan Indonesia 19,1% (GEM Report, 2006). Wirausaha di Jepang menghadapi banyak kesulitan khususnya pada saat mendirikan usaha baru. Orang Jepang tidak menganggap negara mereka sebagai negara yang mendukung kewirausahaan. Peraturan pemerintah yang ketat, dominasi kelompok korporat besar di mayoritas sektor industri, bank yang cukup konservatif dan sedikitnya modal bagi pendiri bisnis telah menurunkan semangat mereka yang ingin menjadi wirausaha. Selain itu, budaya menghindari risiko yang masih berkembang dan penilaian yang lebih tinggi pada mereka

yang  bekerja  di  perusahaan  masih  dirasa  cukup  menghambat  munculnya  semangat wirausaha di Jepang (Helms, 2003).
Kondisi  seperti  ini  juga  terjadi  di  negara  maju,  seperti  Norwegia,  di  mana aktivitas kewirausahaan dan proses inovasi terjadi di perusahaan-perusahaan yang sudah eksis  dan  berukuran  besar.  Berdasar  temuan  sebelumnya,  Norwegia  tercatat  sebagai negara dengan nilai kewirausahaan yang paling rendah diantara negara-negara OECD (Reynolds et al., 2000).  Tingkat pengangguran cukup relatif rendah di Norwegia. Hanya sedikit orang dengan pendidikan tinggi yang perlu menunggu beberapa lama untuk mendapatkan pekerjaan baru. Dapat dipastikan bahwa orang-orang yang memilih menjadi wirausaha  adalah  ketika  mereka  merasa  tidak  puas  dengan  pekerjaan  yang ada  atau dengan alasan untuk mendapatkan pendapatan yang lebih tinggi.
Hal   ini   sangat   berbeda   dengan   kondisi   di   Indonesia,   di   mana   proses pengembangan perekonomian sangat bertumpu pada munculnya usaha-usaha baru perorangan dan dalam skala kecil. Dengan tingkat pengangguran yang relatif tinggi mencapai 40% (Kristiansen, 2003), menyebabkan rendahnya hambatan masuk dilihat dari investasi modal, kompetensi dan informasi yang dibutuhkan untuk membuka usaha baru. Akan lebih mudah di Indonesia untuk mendirikan usaha baru berskala kecil di sektor- sektor informal, yang menghindari aturan-aturan formal jika dibandingkan dengan di Jepang dan Norwegia. Perbedaan nilai intensi kewirausahaan yang substansial dan signifikan lebih tinggi bagi mahasiswa Indonesia dibandingkan Jepang dan Norwegia pada variabel kesiapan instrumen (lihat Tabel 4) merupakan indikator yang jelas bahwa hambatan untuk memulai usaha baru dipersepsikan lebih rendah di Indonesia dibandingkan di Jepang dan Norwegia.

Temuan menarik yang perlu dicatat terkait dengan latar belakang pendidikan mahasiswa  (hipotesis  6),  menunjukkan  bahwa  mahasiswa  Indonesia  dengan  latar belakang ekonomi dan bisnis justru tidak terlalu berminat untuk menjadi wirausaha. Hal ini mungkin terkait dengan orientasi pendidikan atau kurikulum pendidikan ekonomi dan bisnis yang tidak diarahkan untuk membentuk wirausaha. Akan tetapi, cenderung untuk mempersiapkan dan membekali mahasiswa untuk bekerja di perusahaan-perusahaan berskala besar dan mapan. Jika memang orientasi pendidikan ekonomi dan bisnis diarahkan pada terbentuknya lulusan yang siap menjadi wirausaha, maka menjadi penting bagi pihak universitas atau lembaga pendidikan terkait untuk menyiapkan kurikulum yang dapat memfasilitasi dan meningkatkan semangat kewirausahaan. Dengan demikian, diharapkan materi pendidikan yang diberikan akan mendorong semangat kewirausahaan di kalangan mahasiswa dan lahirnya generasi wirausaha baru Indonesia.
Seperti yang telah dijabarkan sebelumnya, bahwa intensi kewirausahaan dipengaruhi oleh variabel-variabel independen yang digunakan dalam penelitian ini. Namun cukup jelas, bahwa intensi kewirausahaan juga dipengaruhi oleh variabel-variabel di luar yang sudah diteliti. Memasukkan faktor-faktor seperti latar belakang keluarga, modal sosial, persepsi-persepsi kontekstual mungkin dapat meningkatkan kemampuan penjelas model. Selain itu, menggunakan jumlah responden yang lebih banyak dan lebih representatif diharapkan dapat memberikan gambaran yang lebih lengkap tentang intensi kewirausahaan antara mahasiswa Indonesia, Jepang dan Norwegia dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.

Beberapa hal yang dapat disimpulkan dari hasil penelitian ini adalah:

1.   Secara  umum,  penelitian  menemukan  bahwa  faktor-faktor  yang  mempengaruhi intensi kewirausahaan berbeda antara satu negara dengan negara yang lain. Efikasi diri terbukti mempengaruhi intensi mahasiswa Indonesia dan Norwegia. Kesiapan instrumen dan pengalaman bekerja sebelumnya menjadi faktor penentu intensi kewirausahaan  bagi  mahasiswa  Norwegia.  Latar  belakangan  pendidikan  menjadi faktor penentu intensi bagi mahasiswa Indonesia, hanya dengan arah berlawanan.
2.  Kebutuhan akan prestasi, umur, dan jender tidak terbukti secara signifikan sebagai prediktor intensi kewirausahaan.
3.  Hasil   analisis   regresi   menunjukkan   bahwa   variabel-variabel   terkait   dengan kepribadian, instrumen, dan demografi bersama-sama secara signifikan menentukan intensi kewirausahaan. Meskipun, kesemuanya hanya mampu menjelaskan sebesar
28,2% untuk Indonesia, 14,2% untuk Jepang dan 24,8% untuk Norwegia.

Sumber :  nurulindarti.files.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar